Dia datang. Mengenakan pakaian anggun bernuansa monokrom, dia muncul di balik pintu bersama Yasmin saat aku membukakan pintu pada sore hari. Setelah beberapa minggu, aku melihat keceriaan yang hampir setiap saat membalut wajahnya. Senyumnya tak pernah tidak membuat hatiku berdesir. Dari situ aku tahu, keputusan yang kubuat semalam, janji yang telah kuucap lebih awal adalah pilihan yang paling tepat.
Hari ini, aku mengajaknya ke luar. Kubawa dia menyambangi tempat paling kusukai di kota ini, Queen’s Walk. Agak keliru sebenarnya memilih tempat ini mengingat tujuanku yang sebenarnya. Di samping sekedar berjalan-jalan dan menikmati ketenangan di tepi Sungai Thames, aku memiliki maksud yang sedikit—atau banyak—akan mengacaukan harinya.
“Apa rencanamu setelah lulus dari Birmingham?” Lagi-lagi aku mengganti pertanyaan setelah sampai di ujung lidah. Selalu sulit mulai membicarakan pasal yang bertentangan dengan benakku.
“Aku selalu memimpikan menjadi seorang peneliti. Magang di balai atau mengerjakan proyek dosenku sambil mempersiapkan untuk memburu beasiswa S2 kukira menarik.”
“Sure you can, dreamer.”
Riana memandangku selintas, menyimpul senyum. Pandangannya segera di arahkan ke permukaan Sungai Thames. Aku menggerakkan mataku ke arah berlawanan. Pohon ek yang tumbuh tak jauh dari bangku taman ini daun dan batangnya mulai dihinggapi butiran salju. Jalanan pun mulai memutih. Dingin semakin memelukku. Aku menyilangkan lenganku di depan dada.
“Lalu, apa rencanamu selanjutnya, Dam?”
Aku meluruskan wajahku, ikut melihat ke permukaan Sungai Thames. “Sederhana, Rian. Menjalani hidup seperti biasa. Tidak ada perencanaan yang pasti, mengalir mengikuti arus, seperti Sungai Thames.”
“Arus yang digariskan oleh Penguasa Takdir.” Riana mempertemukan tatapannya denganku yang kubalas pada detik itu juga. “Itu juga rencana. Rencana yang saaangat matang.”
“Kamu manis sekali saat sedang tersenyum.”
“Apa?”
Damn it. Tak ada niatku untuk mengucapkan itu secara keras. Apa boleh buat, namanya tindakan spontan tak dapat dikontrol. Meski demikian, aku tak lantas berpaling untuk menunjukkan bahwa kalimat itu refleks terucapkan.
“Kamu yakin sudah memiliki pacar?” Mendadak aku teringat pertanyaan Setya beberapa waktu lalu saat dia menyempatkan diri menjengukku.
Anggukanku waktu itu tidak cukup meyakinkan dia karena ucapan berikutnya berupa penyangkalan, “Ada yang tidak biasa dari caramu menatap Riana. Sebagai sesama laki-laki, aku melihatnya dengan jelas ... Kau tahu, itu yang dilakukan seseorang pada orang yang dia ... cintai.”
Aku justru menertawakannya. Tawa yang hambar sebab tidak ada yang lucu dari kalimatnya, malah menyisakan perih yang samar-samar menggetarkan tawaku. “Catie, dia pacarku. Aku mencintainya dan aku tidak berniat mencari pacar lagi.”
Senyum yang ditunjukkan Setya lagi-lagi memperlihatkan keraguannya.
“Maaf, tapi aku tidak yakin dengan itu. Dan kamu tidak bilang kamu tidak menaruh rasa pada Riana.”
Aku membalasnya dengan tatapan. Beberapa tarikan napas kumanfaatkan untuk membaca dirinya. Sebenarnya, sangat tidak perlu. Aku telah mengamati gerak-geriknya dalam beberapa kali pertemuan. Ingatlah bahwa aku pun telah memiliki kecurigaan yang sama atasnya.
“Aku juga melihat caramu memerhatikan Riana. Tatapanmu memperlihatkan betapa kamu peduli padanya. Kepedulian yang kumaksud tak lain adalah perwujudan dari ...” aku tersenyum pada Setya yang air mukanya berubah perlahan. Semburat merah menebar di wajahnya. “Kamu mencintainya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...