Keping 5: Pesan Misterius

147 16 0
                                    

This is autumn. People say, it’s the most romantic season. I can say that, only if I can spend an hour with you.
Drink me, Riana!

Aku mencabut kertas yang menempel pada kotak susu itu. Itu bukan pesan pertama yang kuterima secara misterius. Sejak beberapa hari belakangan, setiap pulang dari toko roti, aku selalu mendapati makanan atau minuman ringan tergeletak di depan pintu apartemen dengan secarik kertas menempel. Selalu bertuliskan pesan-pesan yang romantis dan selalu ditutup dengan perintah untuk menghabiskan makanan atau minuman ringan itu.

“Baru pulang, Ri?” Setya melewatiku. Dia masih mengenakan kemeja yang sama dengan yang dikenakannya di kampus, pun masih menggendong ransel hitam yang ditempeli bendera merah putih. Dia menolehku setiba di depan pintu apartemennya, tersenyum sambil membuka kunci pintu.

“Set,” panggilanku mencegahnya melangkah masuk. Setya membelokkan lagi wajahnya padaku, mengangkat kedua alisnya. “Apa kamu pernah melihat seseorang yang meletakkan makanan atau minuman semacam ini di depan pintu apartemenku?” aku menunjukkan kotak susu yang kupegang. Tentu saja tidak repot-repot menempelkan kembali kertas itu.

“Tidak. Memangnya, kamu sering mendapat makanan gratis?” Setya menatap ingin tahu. Tangannya masih menempel di gagang pintu. Hanya tinggal mendorongnya agar dia dapat masuk. Tapi, Setya tidak melakukannya. Mungkin tertarik dengan pertanyaanku.

“Beberapa hari ke belakang.”

“Bagaimana kamu yakin itu untukmu?” Setya bertanya serius, tapi keseriusan itu meluntur dengan cepat sebelum dia mengajukan pertanyaan kedua, “Apakah kamu tidak berpikir seharusnya itu di letakkan di depan pintu apartemenku? Orang bisa jadi keliru karena apartemen kita bersebelahan.” Dia mengangkat bahunya sambil menertawakan kalimatnya sendiri.

“Ada namaku dalam pesannya. Jadi, tidak mungkin untukmu.”

“Pesan?” Setya mengerutkan keningnya. Dorongan rasa ingin tahunya pastilah bertambah besar karena kepolosanku mengungkap pesan misterius itu. Dia melepaskan tangannya dari pegangan pintu, lekas berjalan santai ke arahku. “Pesan bagaimana, maksudmu?”

Aku mengangkat tanganku yang memegang kertas pembawa pesan dari pengirim misterius. Aku sudah terlanjur mengatakannya. Maka, biarlah Setya sekalian tahu pesan yang kumaksud. “Pesan seperti ini.” Aku memperlihatkan permukaan kertas yang ditulisi.

Setya memindainya cepat. Pandangannya segera beralih padaku. “Aku iri dengan selera bahasanya. Selamat, kamu resmi memiliki penggemar rahasia, Ri!” Dia membalik badannya diiringi seringaian lebar. “Jangan-jangan itu dari orang yang kamu taksir, Ri.”

Aku memicingkan mata. Ingatan mengenai percakapan kecilku dengan Setya beberapa waktu lalu segar kembali dalam ingatanku. Setya menyinggung perkara itu lagi setelah aku memutuskan tidak ingin mengingat-ingat pernyataannya.

“Wajahmu memerah, Ri!” Dia masih berdiri di depan pintunya, tertawa geli melihatku.

Aku berharap aliran listrik di apartemen ini mati detik ini juga sehingga aku tidak perlu susah payah bersembunyi dari rasa malu yang memberikan polesan merah pada wajahku. Sayangnya, harapan bodoh itu terlalu tinggi bagiku. Aku hanya bisa memalingkan wajahku, menatap pintu kayu bercat coklat tua yang mendadak menjadi tranparan dan menunjukkan wajah tomatku.

“Jangan-jangan ini dari kamu, Set!”

“Aku akan berusaha menjadi orang itu jika kamu mau.”

Seketika aku melempar wajahku ke arah Setya. Dia sudah masuk. Baru saja merapatkan pintu apartemennya. Jawaban Setya tidak kuduga. Sebenarnya, kepribadiannya juga sering tidak terduga. Kadang, dia menjadi sosok yang sangat bersahabat. Kadang sangat serius dan kaku. Melontarkan kata-kata yang sarat ‘rayuan’ jarang sekali Setya lakukan. Jika aku menghitung percakapan malam itu dan saat ini, dua kali. Tentu saja, aku tidak meyakini itu sebagai rayuan sungguhan.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang