Keping 17: Kabar Buruk Musim Dingin

136 20 0
                                    

Lima bulan berlalu sejak terakhir kali aku berkunjung ke kota ini, London. Memang benar, tidak ada gunanya tinggal di Inggris jika aku tidak pernah menginjakkan kaki di London, kota dengan sejuta pesona. Namun, bukan itu. Lagi-lagi, bukan pesona Kota London yang memancingku mendatanginya. Lagi, aku dituntun oleh perasaan rindu yang mencekikku hampir setiap saat.

Matahari tidak tampak seharian ini. Sementara salju mulai turun sejak beberapa jam yang lalu. Ini tentu saja momen menyenangkan bagi orang-orang. Salju turun di London. Kukira, lebih tepatnya di Inggris. Kemarin di Birmingham juga turun salju. Aku menengadahkan tangan, mencoba menampung salju ditanganku. Lembut dan dingin membekap tanganku.

Aku merapatkan mantelku. Lenganku kusilangkan di depan dada. Aku bersandar pada pagar pembatas Jembatan Wesminster. Tidak seperti orang-orang yang menghadap ke Sungai Thames langsung, menikmati pemandangan memukai permukaan Sungai Thames yang membentang lebar dengan beberapa kapal pesiar mengapung di permukaannya, aku memilih menatap kesibukan jalan.

Jika matahari bersinar, dapat kupastikan sebentar lagi jatuh ke garis horison, lalu menghilang. Tidak terasa, sudah berjam-jam aku menghabiskan waktu berjalan kaki menelusuri London—diselingi istirahat tentu saja. Aku sudah mengunjungi banyak tempat. Bertemu dengan ratusan orang. Sayangnya, tidak ada wajah yang kukenali di antara orang-orang itu. Aku hanya melihat wajah-wajah asing.

Aku tahu risiko ini. Aku menyadari benar sejak menetapkan langkah untuk pergi ke London. Bahkan sudah kusadari sejak aku mulai menabung untuk ongkos perjalanan ini. Tidak juga. Sebetulnya sudah kusadari sejak aku mengusahakan Birmingham sebagai tempat aku menuntut ilmu. Bukan melelahkan risikonya, melainkan perjalanan ini mungkin sia-sia. Aku tidak dapat menemukan yang kucari.

Mengandalkan rindu saja jelas tidak cukup. Aku tidak punya informasi apa pun yang dapat menjadi panduanku. Tidak ada kenalan. Tidak ada alamat rumah. Aku pun tidak memiliki kontak orang yang kucari di kota ini. Pencarianku hanya berlandaskan insting. Bodoh sekali. Mungkin gila lebih tepatnya. Entahlah!

Aku berbalik, mengalihkan pandangan dari jalanan. Kini, aku seperti orang-orang, menikmati pemandangan Sungai Thames. Beberapa lama aku tenggelam ke dalam keindahan suasana Sungai Thames. Sejenak aku memalingkan wajah. Gerakan kepala yang singkat itu membuatku segera menoleh kembali. Aku tak sengaja menangkap pandang seseorang sedang memerhatikanku. Namun, saat aku sengaja memandanginya, orang itu memandang ke sisi lain. Malah sekarang sedang berjalan menjauh. Pikiranku beraksi lebih lambat dibanding tubuhku sebab aku sudah melangkah mengikutinya sedangkan pikiranku masih berusaha mencari tahu kemungkinan aku mengenal orang itu.

Tepat pada langkah kelima, saat orang itu menoleh entah sengaja atau tidak. Aku terdiam seketika. Garis wajah itu. Postur tubuhnya. Rambutnya yang berwarna kecoklatan. Matanya yang hijau zamrud ...

"Mister Anderson!" Lidahku susah payah mengucapkan dua kata itu. Terlambat. Orang itu sudah bermeter-meter jauhnya. Di tengah keriuhan, aku ragu ia dapat mendengar panggilanku. Aku berjalan lebih cepat, berusaha mengejarnya.

Orang itu tidak sebentar pun menoleh. Berjalan lurus saja. Dia benar-benar tidak mendengar panggilanku. Aku teguh berjalan, seakan tidak ada kemungkinan bahwa yang kusebut bukan namanya. Dia tidak ada hubungannya dengan Adam. Ada banyak orang di muka bumi ini. Tidak mustahil jika beberapa mirip satu sama lain. Entahlah. Aku memilih bodoh atas fakta sederhana itu. Aku benar-benar mengejarnya yang kini berbelok menuju Jalan Quens Walk.

Tanpa kusadari, aku bukan hanya mengabaikan kemungkinan itu, melainkan juga keadaan sekitar. Aku nyaris menabrak anak kecil lantaran terlalu fokus pada satu orang. Untung saja, sebelum terjadi, anak kecil itu ditarik ibunya menghindar dari jalanku. Itulah menghentikan langkahku, sekejap memandang mereka untuk minta maaf. Sekejap saja. Aku kembali mencari keberadaan orang itu. Namun, sejauh pandanganku hanyalah orang-orang asing. Dia menghilang dalam kerumunan.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang