26.10.18
Masih menggendong ransel, aku tertahan di Trafalgar Square. Weekday begini, Trafalgar Square tetap ramai. Aku mengedarkan pandangan, meneliti semua yang tadi hanya sempat kupandangi sekilas-sekilas. Alun-alun ini besar dan bangunan yang mengelilinginya tampak megah.
Banyak orang duduk santai di pinggir kolam air mancur, beberapa di antara mereka sibuk mengangkat ponsel, mengambil gambar. Ada juga yang berdiri di sekitar pilar granit setinggi 46 meter, Tugu Nelson, sekadar mengagumi keindahannya atau sekaligus berfoto. Patung-patung di seputar tugu Nelson dan bangunan-bangunan lain di sekitar juga menjadi sasaran kamera pengunjung. Aku bergabung dengan mereka yang duduk-duduk di tepi kolam air mancur.
Sekolah cukup menyenangkan. Setelah beberapa minggu kuhabiskan di rumah dan Royal Marsden, bertemu dengan guru-guru dan puluhan remaja memberikan kesan tersendiri. Kehidupan remajaku kembali meski belum semeriah yang kurasakan di Indonesia. Aku masih baru di sekolah, masih dalam tahap awal menjalin pertemanan. Setidaknya, aku memiliki satu yang lumayan dekat. Namanya Robert. Dia anggota tim sepak bola sekolah. Kami pertama kali berbincang saat aku menonton latihan tim sepak bola.
Beberapa menit yang lalu, aku bersama Robert dan dua teman lainnya. Kami baru saja mengunjungi National Galery. Tidak sekadar melihat-lihat, kami mencatat beberapa hal penting untuk menyusun tugas sekolah. Mereka bertiga langsung menuju tujuan masing-masing usai dari National Galery. Aku memilih tetap di sini karena aku memiliki janji dengan Catie.
Baru saja kupikirkan, ponselku bergetar. Aku mendapat pesan dari Catie. Dia mengabarkan pertemuan sore ini tidak bisa terlaksana. Masih sibuk membantu Dokter Daniel di Royal Marsden katanya. Aku membalas pesannya hanya dengan emoji marah. Tidak sampai tiga detik kemudian, ada panggilan masuk darinya. Aku mengangkat telepon sambil tertawa pelan.
"Maafkan aku," adalah kalimat pertama yang dia ucapkan.
Aku diam saja. Setelah mengenalnya berminggu-minggu, ditambah dengan informasi yang kudapat dari ayahnya, Mr. Alex, aku cukup memahami karakternya. Catie akan sangat marah jika seseorang melaganggar janji yang telah disepakati dengannya. Bisa ditebak bagaimana reaksinya saat dia sendiri yang justru tidak dapat memenuhi janjinya.
"Adam, aku benar-benar minta maaf."
"Aku menunggu belasan menit untuk menerima pembatalan janjimu," keluhku dengan nada dingin. "Kamu berjanji memperlihatkan puncak London padaku sore ini."
Senyap beberapa detik. Kubayangkan gelisah menyelubungi wajahnya. Aku ingin menertawai figur yang dibentuk oleh kepalaku. Kucoba untuk melepaskan tawa hanya dalam benakku saja. Tidak ingin membuat kepura-puraanku lebih cepat terbongkar.
"Oke," Catie mendesah.
Aku menyeringai membayangkan wajahnya kali ini dikacaukan rasa bersalah.
"Aku pergi ke sana. Sekarang."
"Tidak usah," jawabku cepat.
Senyap lagi beberapa detik. Aku mengira Catie menganggap aku benar-benar marah. Aku harus berjuang sekuat tenaga menahan tawa berderai.
"Aku akan meninggalkan ruangan Dokter Daniel." Muncul suara berisik. Mungkin Catie sedang terburu-buru membereskan pekerjaannya yang berserakan di meja Dokter Daniel.
“Tidak perlu seserius itu, Catie. Kita bisa jalan-jalan lain kali.” Aku mengulum bibirku, tersenyum pada orang di balik telepon meskipun jelas sekali Catie tidak dapat melihat senyumku. Kukira, dia cukup dapat mendengar senyum di sela-sela suaraku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...