Aku tidak pernah akrab dengan permusuhan. Pertengkaran atau perselisihan yang pernah kualami selalu berakhir dengan perdamaian. Tidak pernah lama hingga jabat tangan terjadi. Aku tidak benar-benar tahu makna dari sebuah permusuhan sampai aku mengalaminya secara nyata. Saat ini. Bukan perkara sulit memutuskan aku tidak suka permusuhan.
Aku sedang membahas pertemananku dengan Nandini yang sampai pada titik di mana 'pertemanan' menjadi tidak tepat lagi mendeskripsikan hubungan kami. Permasalahanku dengannya jauh dari selesai. Usahaku untuk menjelaskan kesalahpahamannya tidak mendapat respons positif. Setya sampai turun tangan demi memperbaiki hubunganku dengannya. Sia-sia. Nandini terlalu mempercayai prasangkanya.
Aku sudah mencoba beramah-tamah padanya, lebih ramah dari yang paling ramah yang pernah kulakukan. Balasan Nandini adalah tatapan sinis. Reaksinya selalu sama dari hari ke hari. Bukannya membaik, semakin lama dia malah memperlakukanku kian buruk. Setelah tidak lagi memberiku tatapan sinis, Nandini memilih mengabaikanku. Tidak berlebihan jika kukatakan dia seakan membuangku dari dunianya. Aku sungguh tidak dianggap ada. Kukira pantas jika pada akhirnya, aku pun lelah. Aku menyerah mempertahankan pertemanan ini, yang kurealisasikan dengan berhenti dari toko roti ayahnya.
"Apakah tidak bisa dipertimbangkan lagi, Riana?" Tuan Kumar melepas kacamatanya, seolah tanpa benda itu tatapannya dapat lebih berpengaruh. "Kami suka kamu bekerja di sini. Kamu pekerja yang rajin. Orang-orang juga menyukaimu."
Keputusan ini bagiku terhitung berat. Semua yang ada di toko roti ini tidak memberikan tempat bagi ketidaknyamanan. Paling tidak, sebelum yang terjadi antara aku dan Nandini. Satu hal itu secara ajaib membuat semua yang ada di sini berbalik menjadi tidak menyenangkan. Satu hal saja, aku tidak lagi kerasan.
"Terima kasih, Tuan Kumar. Aku juga sangat kerasan bekerja di sini. Tapi, aku harus mengambil keputusan. Dan keputusanku sudah final."
Butuh beberapa detik hingga Tuan Kumar mengangguk, tetap dengan ekspresi yang tidak setuju. "Baiklah. Saya harus memahami keputusanmu. Semoga beruntung." Tuan Kumar mengulurkan tangannya yang langsung kujabat. "Jangan lupa untuk mampir ke sini sewaktu-waktu."
Aku mengangguk atas tawarannya, lantas melangkah keluar dari ruanganya. Sedikit terkejut saat kutemukan Rajj dan Ayash menyambutku di depan pintu.
"Tuan Kumar pasti tidak memberimu izin." Rajj menebak selagi aku menutup pintu ruangan Tuan Kumar.
"Maaf mengecewakan kalian. Mulai sekarang, aku tidak lagi bekerja di sini."
Keduanya menunjukkan air muka lebih buruk dari yang diperlihatkan Tuan Kumar.
"Tidak mau memikirkannya lagi?"
Aku menggeleng kepada Ayash.
"Ayolah, Riana. Aku malas harus bekerja dengan orang baru. Tidak ada yang menjamin pekerja baru nanti akan menyenangkan seperti kamu." Ayash memberiku tatapan memohon.
Aku menggeleng lebih tegas. "Jangan khawatir. Pikiran seperti itu tidak akan bertahan lama di kepala kalian. Sekali pekerja baru itu muncul, kalian mungkin masih harus beradaptasi. Hari berikutnya, aku jamin kalian akan melupakan pikiran itu."
Rajj dan Ayash saling menatap. Kemudian, keduanya mengarahkan pandangan padaku. Mereka berbicara bersamaan dengan kalimat yang persis sama, "Aku akan merindukanmu."
Aku tertawa mendengarnya. "Aku juga akan merindukan kalian. Sampai nanti."
Setya masih berada di tempat yang sama, seperti lima belas menit yang lalu, duduk di kursi paling dekat dengan etalase. Dia berdiri begitu menemukanku. Berbeda dengan Tuan Kumar, Rajj, dan Ayash, Setya terlihat lega. Kami berjalan bersisian. Di depan pintu, Nandini muncul, menjadikan suasana mendadak canggung. Entah yang ada dalam pikirannya. Tidak sedetik pun dia membiarkan dirinya menatap ke arah aku dan Setya. Aku sempat menolehkan wajahku, mengikuti punggungnya yang sekejap kemudian lenyap dari jangkauan pandanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...