20.09.18
-Sahabat Sejati milik Sheila On 7 mengalun nyaring di kamarku. Liriknya yang bersemangat bertalu-talu di telingaku, menawarkan kerinduan yang menggebu-gebu. Aku ikut bernyanyi, pelan. Samar-samar, percakapan Wildan dan Dad di ruang depan terdengar. Hanya serupa kumur-kumur. Tidak jelas, tapi cukup mengganggu. Tak pelak kepalaku teracuni oleh suatu pemikiran yang selalu kutentang.
Wildan benar, aku egois, memilih tiduran di kamar daripada menemui Dad yang telah meluangkan waktu singkatnya untuk datang ke sini. Berani bertaruh, pasti Dad terlibat percekcokan kecil dengan Anabeth sebelum pergi. Atau malah bertengkar hebat dengan Wesley. Dua hal itu sangat mungkin terjadi, kecuali Dad datang diam-diam.
Wildan benar tentang hal lainnya. Aku lebih egois lagi. Aku jelas-jelas menerima seluruh bantuan Dad, semua bentuk kasih sayang yang coba dia berikan. Namun, aku sama sekali enggan membalasnya. Aku malah membela diri, menganggap yang dilakukan Dad semata adalah sebuah kewajiban atas ayah kepada anaknya. Aku menolak memandangnya dari sudut lain. Tidak peduli siapa pun yang coba memengaruhiku, Wildan, Yasmin, Mama sekali pun, aku sulit membuka diri.
Tok. Tok. Tok.
Aku menoleh pintu. "Aku sedang sibuk, Wil," berteriak, mencoba meredam musik yang kuputar keras-keras.
Pintu tetap terbuka. Tentu saja. Wildan tidak akan menghiraukanku. Lagi pula, sejak kapan dia bertindak sopan, mengetuk pintu? Sangat bukan Wildan yang biasanya menerobos masuk tanpa permisi. Wildan bahkan sering masuk ke kamarku diam-diam pada tengah malam.
"Masuk saja, Dad!"
Aku memutar pandanganku menyusul ucapan Wildan. Wildan sudah tidak ada di depan pintu, tersisa Dad yang berdiri dengan senyum merekah. Ragu-ragu, Dad melangkahkan kakinya, masuk.
"Bagaimana keadaanmu, son?"
Aku tidak mengubah posisiku, pun tidak berniat mengecilkan volume ponselku. Lagu itu habis. Dentuman drum yang tidak kalah semangat terdengar, mengawali lagu selanjutnya, lagu yang tidak kalah bersemangat 'Melompat Lebih Tinggi'.
Dad hanya berdiri di samping tempat tidurku. Ia bukan Mama yang tidak akan meminta izin untuk duduk di tepinya. "Apakah dadamu terasa sakit?"
Aku menggeleng.
Dad menekuk lututnya, merendahkan tubuhnya. Aku menolak mempertemukan wajahku dengannya, berpura-pura memeriksa ponselku. Sesekali kapalaku bergoyang dan jariku mengetuk-ngetuk kasur, seirama dengan musik ceria yang terdengar.
"Jika kamu membutuhkan sesuatu, jangan sungkan."
"Wil menyediakan semua yang kubutuhkan," jawabku datar, tanpa merasa perlu menatap lawan bicara.
"Besok-"
"Besok aku akan pergi dengan Wil," potongku.
Dad tidak terdengar responsnya. Samar-samar, aku melihat gerakan tangannya. Sebelum menjangkau rambutku, aku menjauhkan kepalaku. Tapi, Dad berhasil mendaratkannya di bahuku, menepuknya dua kali.
"Dad akan kembali secepatnya." Dad menjauhkan tangannya dari bahuku. Aku merasakan gerakannya, lalu mendengar langkah kakinya.
Aku melempar pandanganku ke pintu setelah pintu kamarku tertutup rapat. Dad mungkin sedang menuruni tangga. Aku membuang napas kasar. Kuletakkan kedua telapakku menutupi wajah. Pertemuan dengan Dad tidak pernah bisa kuakhiri dengan baik. Aku menyadari kesalahan sikapku. Mengubahnya, bukan persoalan yang mudah. Aku tidak akan pernah lupa saat menyedihkan melihat rumah yang kami tempati hangus terbakar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...