17.09.18
Aku melongokkan pandangan ke luar jendela mobil yang dikemudikan Dad. Mobil-mobil yang saat kubangun masih berjajar di pinggir jalan, kini telah lepas landas. Hanya beberapa yang masih teronggok bisu, belum disentuh pemiliknya. Selain pengendara mobil dan sepeda, beberapa pejalan kaki yang melintas Archbishop’s Place turut menghidupkan jalan. Mataku menelusuri semua yang tertangkap pandanganku, sebisa mungkin mencoba menemukan kenyamanan dengan menikmati pemandangan, di tengah suasana yang terasa menegang ini.
Memasuki jalan utama, Brixton Hill, kulihat beberapa remaja seusiaku berjalan beriringan sambil mengobrol. Pemandangan itu dengan cepat membuatku terdiam. Aku tidak tahu tujuan mereka. Tapi, mereka membawa ingatanku mundur. Aku teringat dengan Indonesia dan semua yang kutinggalkan di sana. Kamarku, sekolah, teman-teman, dan tentu saja seseorang yang aku rindukan setiap detik sejak terakhir kali aku melihatnya. Aku memejamkan mata, menahan kenangan yang hendak menerobos ke luar.
Sayup-sayup, musik yang baru saja diputar Dad sampai ke telingaku. Aku menajamkan telinga demi mengenali melodi yang dimainkan itu. Aku mengerutkan kening satu detik berikutnya. Tidak salah lagi, yang kudengar adalah suara Duta ‘Sheila On 7’ membawakan salah satu lagu kesukaanku sepanjang masa, ‘Itu Aku’. Kutebak Dad menghabiskan beberapa jam waktunya untuk mengumpulkan lagu-lagu dari band kesukaanku alih-alih memperdengarkan lagu-lagu barat padaku.
“Dad ingat saat kamu menyanyikan lagu itu keras-keras, tidak peduli Wildan sedang belajar.”
Aku sepintas menoleh Dad, menemukan bibirnya melengung sedikit. Aku malas mengingat waktu terakhir kali perbincangan antara aku dan Dad berlangsung menyenangkan. Sekarang ini, aku memprediksi apa pun yang akan menjadi bahan perbincangan kami, tidak akan berjalan dengan baik.
“Kamu masih marah, Dam?” Dad berusaha melirikku secara langsung.
Aku masih melempar pandang ke luar, kutambahkan dengan sekalian memutar wajahku sehingga Dad hanya bisa mendapati telingaku. Pertanyaan macam apa itu? Bagaimana mungkin aku tidak bisa marah padanya, setiap detik dalam hidupku, setelah Dad memberiku sepotong kisah kelam untuk kukenang sepanjang hidupku?
Detik demi detik selanjutnya berlalu dengan lengang. Setidaknya, lirik-lirik syahdu ‘Itu Aku’ masih memantul-mantul di telingaku, mengusir jenuh yang mulai mengakar.“Dad minta maaf.”
Aku memejamkan mata sesaat. Rasanya, aku ingin menenggelamkan diri ke dalam pakaianku, menghilang dari pandangan Dad. Aku tidak suka pembicaraan ini. Aku membenci setiap kata yang Dad ucapkan. Tapi, semua yang dapat kulakukan tidak akan serta-merta membuat Dad menutup mulutnya, menyudahi omong kosong tidak berguna ini.
Aku masih menatap bahu jalan yang tidak menarik itu, lalu kubiarkan sebuah kalimat terucap, “Mama memintaku memaafkan Dad.”
“Kamu berencana akan menurut?”
Lagu itu habis. Masuk lagu kedua, dari musik awalnya, aku dapat mengenali masih lagu milik band favoritku. Sayangnya, percakapan ini mejadi pencemar bagi lagu yang kudengar. Aku tidak bisa merasakan gairah yang menggebu saat mendengarnya. Hambar saja.
“Mama memberiku pilihan yang sama saja dengan tidak memberiku pilihan.”
“Kamu terpaksa memaafkan Dad?” Muram dalam suaranya terdengar sangat jelas. Salahnya, aku bukan orang yang mudah tersentuh dengan hal semacam itu. Aku tidak seperti Wildan atau Yasmin, adik perempuanku. Aku sedikit lebih keras dari mereka soal urusan ini.
“Aku tidak mempunyai pilihan,” tegasku.
Dad menghela napas
Beruntung di sini tidak ada Wildan yang bisa menceramahiku panjang lebar mengenai cara mengambil sikap. Aku jemu mendengar semua kata-katanya yang selalu sama, membahas soal memaafkan dan betapa mulianya itu, serta mengingatkan hal sepele bahwa aku adalah putra dari Nicholas Anderson, apa pun yang terjadi aku tetap putranya. Aku malas memahami kesalahan Dad, apalagi menerimanya seolah itu hanya kesalahan remeh yang hanya dengan sapuan maaf dapat menghilang, tak ada jejaknya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...