Keping 20: Dari Balik Dinding

155 17 1
                                    

Menyerah adalah cara yang diambil si pengecut untuk lari dari masalah.

Aku tidak memahami banyak persoalan dalam hidup ini. Paling tidak, aku mengerti satu hal, bahwa aku tidak boleh menyerah karena aku tahu orang-orang di sekitarku tidak pernah menyerah untuk mengusahakan kesembuhanku. (Januari 2016, Adam)

Setiap manusia dapat memilih jalan hidupnya, menentukan dengan cara apa mengisi hari-harinya. Bagi beberapa orang, pilihan dalam hidupnya melimpah. Meski demikian, tidak menjamin banyaknya opsi itu membuat seseorang menjalani hidupnya dengan lebih mudah. Bisa saja, dia justru terjebak atas pilihannya karena keputusan yang keliru. Sementara itu, bagi sebagian orang, pilihan dalam hidup sangat terbatas. Tapi, pilihan itu selalu ada. Bahkan ketika hanya ada satu, sejatinya itu juga merupakan pilihan. Kita dapat memilih untuk melakukannya atau tidak melakukannya.

Menjadi seorang yang mengidap penyakit tentu bukan pilihan yang Adam tentukan, melainkan sebuah keharusan yang perlu dia terima. Hatinya boleh saja memberontak, berat menerima keberadaan sel-sel kanker dalam tubuhnya. Namun, Adam memilih untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa dia belum menyerah. Kendati sakit merongrong tubuhnya, ketakutan menjadi ancaman setiap saat, dan keinginan untuk berhenti kerap kali tidak tertahankan, Adam memilih membungkam semuanya dengan sebuah senyuman yang menyala di bibirnya. Tubuh ringkih itu terlihat ceria dengan jarum yang menancap di tangannya.

Aku memerhatikannya diam-diam melalui jendela. Seperti berminggu lalu, dia ditemani seorang perempuan—perempuan yang sama. Kini aku dapat mengendalikan perasaanku dengan lebih baik. Bukan pekerjaan yang asing berdamai dengan perasaan sejenis ini. Aku berusaha melakukannya karena aku ingin menemaninya melewati proses kemoterapi. Lagi pula, aku harus bersyukur atas keberadaan perempuan itu. Sedikit atau banyak, dia tentu berperan dalam membantu Adam mengontrol emosinya.

Jujur, aku ingin melangkah masuk. Aku ingin berada di sisinya, menunjukkan keberadaanku. Bagian dari diriku yang lain menolak—aku mengikutinya. Kupaksakan diriku merasa cukup hanya mengamati Adam lewat jendela, dari jarak ini. Kubuang hasrat untuk mengulang percakapan seru dengannya. Aku tidak tahu Adam sudah siap bertemu dengan orang lain—selain keluarganya—atau belum. Jika boleh aku menilai statusku yang merupakan sahabatnya sebagai salah satu orang penting baginya, dengan Adam tidak memberitahuku apa pun mengenai kondisinya waktu terakhir bertemu, artinya Adam tidak ingin ada orang lain yang mengetahuinya. Aku harus menghargai keputusan itu.

Aku terkesiap tatkala sebuah tangan menangkap bahuku. Sontak aku berbalik. Semula, aku mengira orang itu Setya. Ternyata bukan. Demi mengenali wajahnya, tubuhku mendadak kaku. Banyak pertanyaan yang spontan tersusun dalam kepalaku, membuatku bingung memilih satu di antara yang lain. Aku berakhir hanya menatapnya dengan mulut terkatup rapat. Diam seribu bahasa.

“Kamu akan datang menemuinya?” dia berbicara dengan Bahasa Indonesia yang fasih.

Aku menghela napas, lalu menarik udara pelan-pelan, menyadarkanku aku telah menahan napas selama beberapa detik. Will. Aku tidak mungkin salah mengenalinya. Dialah orang itu, menatapku datar seolah tidak pernah ada apa-apa—surat-surat elektroniknya.

“Ini akan menjadi kejutan untuk Adam. Ayo!”

Terlalu banyak yang kupikirkan sehingga aku masih mematung. Dia urung melangkah. Pandangannya kembali memburuku. “Kita hanya perlu masuk melewati pintu ini. Tunggu apa lagi?”

 Aku melangkah mundur, menempatkan diriku pada posisi yang tak mungkin dilihat oleh siapa pun yang berada di dalam andai percakapan ini terdengar. Dia menyadari gesturku dan turut melangkah.

“Bisakah aku memiliki kembali bukuku?” Pertanyaan itu bukan satu dari sekian banyak yang ingin kuajukan. Aku mencomotnya sembarangan dari simpul yang menghubungkan kebingungan dan keraguan dalam kepalaku.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang