Terima kasih atas kesempatan untuk merasakan rasa sakit. Tanpa pernah menanggungnya, aku tidak akan pernah mengerti nikmat yang sesungguhnya dari tubuh yang sehat.
Wajahnya sepucat salju. Sepasang mata hijaunya sayu, mungkin semalam terjaga lama ketika nyeri meledak-ledak di sekujur tubuhnya. Sendi-sendi dalam tubuhnya boleh saja melemah. Energinya biar digerogoti sakit. Tapi, dia selalu tahu cara berterima kasih atas kesempatan membuka mata di pagi hari. Senyumnya merekah, menjadi paradoks bagi dedaunan yang berguguran di sekelilingnya. Binar matanya beradu terang dengan sinar matahari.
Duduk di padang rumput, tangannya tak mau diam. Dia sibuk bermain lempar bola dengan Adrian. Dia tetap berupaya membuat senang anaknya sekalipun tubuh lemahnya membatasi aktivitasnya. Bocah kecil itu sudah cukup senang sekali berlari-lari memungut bola lemparannya untuk kemudian balas melemparnya dengan asal. Hebatnya bola itu hampir selalu berakhir di tangkapan tangan Adam. Saat meleset, aku yang bergerak memburunya.
Mereka cukup lama bermain sampai Adrian yang keningnya dilumuri keringat mendatangi ayahnya, kelelahan. Adam menariknya duduk di pangkuannya. Dia menyeka keringat anaknya dan tak menunggu waktu untuk segera memborbardir pipi dan kening putra kecilnya dengan ciuman. Mereka terlihat sangat dekat. Bercanda seperti telah menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap kali mereka bersama. Adam baru berhenti mengganggu anaknya saat bocah itu tertidur.
“Adrian hartaku paling berharga sejak aku memilikinya,” ujar Adam. Tangannya mengelus lembut kening Adrian. “Aku bersyukur sekali mendapat kepercayaan untuk menjaganya.”
“Aku yakin Adrian juga sangat bersyukur memilikimu sebagai papanya,” balasku.
Adrian bukan anak kandungnya. Adam menemukan Adrian di dalam mobilnya dua setengah tahun yang lalu. Entah siapa orang yang tega sekali membuang bayi yang masih merah itu. Dia sudah menyerahkannya ke kantor polisi setempat. Namun, polisi tidak berhasil menemukan orang tua bayi itu. Merasa tidak tega, Adam mengadopsi bayi itu. Maka, sejak saat itu, Adrian resmi menjadi cucu pertama keluarga Anderson.
Dengan bantuan mamanya, Yasmin, dan Wildan, Adam merawat Adrian hingga sebesar ini. Catie juga kerap kali turut ambil bagian dalam mengurus Adrian. Terlebih, karena tak lama lagi Catie menikah dengan Wildan. Aku sedikit terkejut mengetahui Catie dan Wildan—dan harus kuakui, lega.
“Kuperhatikan, kamu seperti memiliki maksud yang belum disampaikan, Rian.”
Ucapan Adam menarikku dari lamunan. Aku menolehnya, menemukan pandangannya menatap penasaran. Sejauh yang kubisa, aku melengkungkan bibirku. Mengutarakan maksudku yang sesungguhnya masih kuanggap bukan sebagai ide bagus. Setelah dipaksa Yasmin menginap di rumahnya sejak tiga hari yang lalu, aku pelan-pelan memahami ucapan Tante Dini.
Adam tidak siap menerima apa pun yang mengejutkan. Kadang, dia tidak bisa mengontrol emosinya bahkan hanya karena hal yang sederhana. Dia bisa marah-marah hanya karena kesulitan memutar keran air, pun bisa menjadi sangat diam atas perkara yang sangat mengesalkan. Paling sering, dia tampak bingung, seperti sedang memikirkan banyak hal. Aku tidak tahu, atau lebih tepatnya tidak membayangkan pengaruh dari bahasan soal perjanjiannya dan Setya. Bagaimana pun dia akan merespons, kurasa itu tidak akan baik untuknya.
“Wake up, you daydreamer!”
Melihat tangannya mengibas di depan wajahku, aku mengedipkan mata.
“Kamu tidak mau mengatakannya karena mengkhawatirkanku?” Adam menatapku serius. Sekilas, aku dapat melihat luka mengisi sorot matanya. Dia pasti sudah menebak yang tengah kupertimbangkan. “Maaf, kamu harus menyaksikan ‘aku’ kemarin. Untuk sekarang aku janji, apa pun yang ingin kamu katakan, aku tidak akan marah-marah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...