Keping 8: Tomorrow isn't a Promise

265 20 2
                                    

"Apa yang terjadi denganmu, Adam?" Wildan akhirnya berbicara setelah membuang waktu beberapa menit mengamatiku.

Aku duduk di bagian ujung sofa, di depan televisi. Mataku justru tertuju pada layar ponselku. Jempolku bergerak di permukaannya tanpa selera. Wildan duduk di ujung sofa yang lain, lebih sering memerhatikanku daripada layar televisi.

"Bukankah seharusnya hari ini kamu menerima surat dari UCL? Atau kamu sudah mendapatkannya? Hasilnya mengecewakan?" Wildan merendahkan suaranya saat mengajukan pertanyaan terakhir. Dia jelas tidak suka menanyakan itu.

"Aku ingin pulang."

Bunyi ketuk pintu menyelamatkanku dari ocehan panjang Wildan. Aku bergegas ke depan meninggalkan Wildan yang menyetel ekspresi aneh, kesempatan untuk menghindar dari pertanyaan-pertanyaan lanjutannya. Sekali lagi pintu diketuk. Aku lekas membukanya. Dad menyambutku dengan senyum meneduhkannya.

"Apa kabar, son?"

Aku membuka pintu lebih lebar seraya menyisi, mempersilakan Dad masuk. Dad melangkahkan kakinya melewatiku. Ia menempati salah satu sofa panjang. Aku memilih tempat di sofa yang satunya.

"Siapa, Dam?" Wildan muncul dari ruangan sebelah. Dia tidak memerlukan jawabanku. Matanya lebih dulu menemukan Dad. Wildan bergegas menghampirinya untuk mencium tangannya-satu hal yang belum bisa kulakukan lagi. "Mau kubuatkan coklat panas, Dad?"

"Itu salah satu alasan Dad ingin setiap hari ke sini." Dad mengangguk, tersenyum penuh penghargaan.

Wildan langsung menghilang ke dapur. Aku harus menggunakan kesempatan beberapa menit untuk berbicara serius dengan Dad. Kubenarkan posisi dudukku yang padahal sudah cukup nyaman. Pelan-pelan, kudaratkan pandanganku pada Dad.

"Mengenai pengobatanku ..." aku memulai, masih ragu-ragu. Tapi, aku tahu, seharusnya sudah mengajak Dad membahas soal ini sejak beberapa minggu lalu, sejak keputusan itu kubuat. "Aku ingin Dad menghentikan semua pengobatanku."

Dad hanya menatapku. Kedua alisnya terangkat dan hampir menyatu. Aku memerhatikan wajahnya-untuk pertama kali entah seberapa lama-dengan detail. Dad yang ada di depanku masih sama dengan Dad yang selalu menemaniku dan Wildan menonton pertandingan sepak bola bertahun silam. Kecuali kerutan yang mulai terlihat jelas, wajah Dad masih terlihat sama. Mata yang tajam setiap menatap. Bibir yang mahir menciptakan senyum lembut. Garis wajah yang tegas nan bersahabat.

"Hasilnya tidak akan berubah, Dad. Kukira penyakit ini tidak ingin diobati." Aku tidak bergurau. Pembedahan kedua, meskipun menurut Dokter Daniel ia tidak hanya mengangkat sel-sel kanker di paru-paruku, tetapi juga sekaligus sedikit jaringan sehat di dekatnya, tetap saja sel-sel kanker itu tidak menghilang. Masih ada yang luput dari pengamatan.

Beberapa waktu lalu, setengah jalan menyelesaikan radioterapi, aku menjalani MRI. Ternyata, bukan hanya pada dua obat kemoterapi sel-sel kanker itu resisten. Bahkan radiasi kuat pun tidak mampu membunuh sel-sel kanker dengan baik sehingga sel kanker yang tertinggal itu tetap berkembang dengan cepat.

"Dad yakin Catie mengatakan banyak hal padamu, tertutama mengenai perjuangannya melawan kanker paru-paru," Dad melanjutkan.

Ucapan Dad bertepatan dengan kedatangan Wildan yang menyajikan segelas coklat panas untuk Dad. Dia tidak bersegera meninggalkan ruangan ini, memilih duduk di sebelah Dad. Pandangannya tertuju padaku, menatap penuh curiga. Dia sudah mendengar ucapan Dad. Kuyakin dia tengah membentuk sebuah pemikiran dalam kepalanya.

Coklat panas yang Wildan sajikan mengeluarkan asap tipis. Aromanya semerbak di hidung. Aroma yang lezat. Dad tidak tergugah dengan aroma itu, fokus sepenuhnya padaku.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang