Jika bukan karena ujian yang semakin dekat, Nary tak akan mungkin mau terjebak didalam ruangan membosankan ini.
Jika bukan karena Asta yang meminta untuk tetap tinggal disini, mungkin Nary sudah sedari tadi beranjak pergi dari ruangan ini.
Jika bukan karena dirinya ingin mendapat nilai matematika yang lebih sempurna dari sebelumnya, ia tak akan mungkin mau menunggu selama ini.
Terlalu banyak kata 'jika' untuk mengungkapkan perasaan Nary sekarang. Ia menopang dagu diatas meja sambil menatap kedepan. Nary memberengut. Sudah hampir 20 menit menunggu, tetapi seseorang yang ditunggunya tak muncul sesuai harapan.
Perpustakaan nampak ramai. Ramai dengan para kutu buku yang mengharapkan nilai yang sempurna untuk ujian kali ini.
Gadis itu menghela napas lelah. Entah sudah berapa kali dalam 20 menit ini Nary menghela napas, yang pasti ia pun tak tahu.
Kata Asta sebelum meninggalkannya disini sih masih mempunya urusan menyangkut tim olimpiade. Apa sudah terlambat untuk Nary menyesali perbuatannya karena menginginkan pemuda itu masuk tim olimpiade? Karena kini Asta malah menelantarkannya.
Menyesal? Mungkin tak begitu. Hanya saja rasa suntuk menemaninya sedari tadi. Ia sudah mengambil beberapa buku pelajaran dan membacanya, tetapi itu tak membantu sama sekali.
"Kenapa?"
Nary menoleh ketika merasa seseorang duduk disampingnya. Mendengar suara yang bertanya itu pun membuat Nary kembali mendengus.
"Kok lama?" Tanyanya ketus lalu membalik halaman buku sejarah yang ditelantarkannya sejak ia mengambilnya tadi.
Asta mengangkat satu alisnya melihat wajah Nary yang nampak masam. Ia melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
"Gue kan udah bilang punya urusan." Jawab Asta seadanya.
"Ya tapi kelamaan. Emang buat apa sih? Keasikan ya ngobrol sama Kak Ela?" Hardik Nary sambil memicingkan matanya.
"Bukannya elo yang minta gue masuk? Kenapa sekarang malah nuduh gue sama dia?" Asta menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Menatap Nary yang memberengut. Sepertinya Nary sudah termakan omongannya Liel kemarin. Diam-diam Asta menghela napas kecil. Sepertinya ia harus memperingati Liel lagi.
"Y-ya tapi kan ... ah sudahlah." Nary membuang mukanya dan menunduk menatap buku sejarah didepannya.
Hening beberapa saat. Nary menggigit bibir bagian bawahnya sambil sesekali melirik Asta yang ada disampingnya menggunakan ekor matanya. Ia membasahi bibirnya lalu berdeham.
"Kak, aku boleh nanya gak?"
Asta menoleh kembali menatap Nary lalu mengangguk. "Tanya aja."
Nary kembali berdeham. Ia melirik Asta sekilas lalu menatap bukunya. "Sebenarnya apa yang buat Kakak suka aku?" Nary menggigit pipi bagian dalamnya. "Selama ini Kakak gak pernah tuh nyatain perasaan Kakak seperti cowok lainnya. Kayak- ehm, suka atau cinta gitu?" Tambahnya lalu kembali melirik Asta yang masih menatapnya.
Gadis itu terserentak pelan lalu menunduk dalam. Wajahnya memanas dan sudah pasti memerah layaknya buah tomat. Ia meremas tangannya gugup lalu mendongak dan menatap Asta sambil tersenyum kikuk.
"M-maaf, duh aku ngelantur. Lupain aja, ya Kak?" Katanya lalu kembali menunduk. Wajahnya semakin memerah. Dalam hati ia terus merutuk. Kenapa ia bisa lepas kendali seperti ini sih? Memangnya Asta akan mengatakan hal-hal lebay bin alay seperti yang dikatakannya tadi? Jelas-jelas cowok itu berbeda dari cowok umumnya. Pacarnya itu dingin seperti salju dan bongkahan es yang sering dipegangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTA'S ✓
Teen Fiction#1 in Teen Fiction (Sudah Terbit) Sebagian part sudah dihapus. Vaneriana Nary hanyalah salah satu dari ratusan siswi di sekolahnya yang bermodalkan sifat ceria, cerewet, dan rupanya yang manis. Semua orang yang melihat tingkahnya pasti berpikir dua...