Nary menautkan kedua tangannya di belakang punggung sambil mengembungkan pipinya dengan mata yang terus bergerak menatap kiri dan kanan. Hari ini Asta telat menjemputnya, tak seperti biasa. Daripada menunggu didalam rumah, Nary pikir lebih baik ia menunggu di luar pagar.
Mata Nary menangkap sebuah motor yang melaju kearahnya. Perlahan motor itu berhenti didepannya, membuat Nary menatap sosok yang mengemudikan motor ninja tersebut sambil tersenyum.
"Tumben lama."
Asta menaikan kaca helmnya. Menatap Nary lalu mengulas senyuman tipis. "Maaf."
Nary sedikit terbelalak lalu terkekeh kikuk kemudian. "Apaan sih pake kata maaf segala. Ga pa-pa kok." Katanya lalu naik ke jok belakang seusai memakai helm yang diberikan Asta.
"Siap?"
"Siyap dong. Go, go!" Seru Nary membuat Asta terkekeh pelan lalu kembali menurunkan kaca helmnya dan segera melajukan motornya.
"Kakak!"
Asta melirik Nary lewat kaca spion. Menunggu apa yang ingin dikatakan gadis itu, walau gadis itu berbicara dengan cara berteriak.
"Lagi dikit udah bel masuk! Kita bisa terlambat loh."
Motor Asta terhenti begitu lampu merah. "Pegangan."
"Apa?"
Tanpa mengulang perkataannya, Asta menarik tangan Nary yang memegang erat jaket bagian belakangnya, lalu melingkarkan tangan Nary pada pinggangnya. Asta tersenyum tipis lalu kembali menjalankan motornya begitu melihat lampu lalu lintas yang kini berwarna hijau.
Dibelakangnya, Nary mengulum senyum lalu semakin mengeratkan pelukannya begitu merasa Asta semakin mempercepat laju motornya. Aroma Asta menyeruak masuk kedalam indra penciuman Nary. Salah satu alasan mengapa Nary sangat betah berada di dekat Asta.
Aromanya sangat berbeda dari orang-orang pada umumnya. Tercium maskulin, tetapi agak manis. Aromanya pun tak begitu menusuk. Sepertinya Nary harus menanyakan prihal parfum apa yang digunakan pemuda itu. Agar, saat dirinya merindukan Asta, setidaknya ia dapat mencium aroma Asta didekatnya.
Beberapa menit kemudian, motor Asta memasuki lingkungan sekolah. Setelah Asta memarkirkan motornya, Nary segera turun sambil melepaskan helmnya. Ia menyisir rambutnya menggunakan jemarinya lalu menatap Asta sambil tersenyum manis.
"Loh? Kakak ga turun?"
Asta menggeleng pelan setelah melepaskan helmnya. Hal itu membuat kening Nary sedikit berkerut. "Jangan bilang Kakak mau bolos," tuduhnya dengan tatapan horor.
"Iya, mau bolos." Jujur Asta seusai terkekeh pelan. Ia merapikan rambut Nary yang masih terlihat sedikit berantakan lalu meletakkan telapak tangan kanannya di atas kepala Nary.
"Ukuran kepala kamu pas sama tangan aku." Cetusnya sambil menatap tangannya yang berada diatas kepala Nary.
Nary yang mendengar itu ikut menatap keatas lalu tertawa. "Tangan Kakak kegedean,"
"Iya, gede. Biar nyaman digenggam."
Mata Nary terbelalak lalu sontak memegang kening Asta. "Kakak sakit?" Tanyanya khawatir.
Asta memegang lengan Nary yang memegang keningnya sambil terkekeh. "Kayaknya sih gitu."
"Yaudah, ayo ke UKS. Aku ambilin obatnya," Nary yang hendak pergi langsung ditahan Asta. Asta turun dari motornya lalu menatap Nary yang nampak gelisah.
"Ga usah. Kan obatnya udah ada disini."
"Hah? Obatnya disini? Dimana?" Tanya Nary bingung sambil celengak-celinguk. Tak menemukan apa pun, Nary menatap Asta yang sedari tadi menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTA'S ✓
Teen Fiction#1 in Teen Fiction (Sudah Terbit) Sebagian part sudah dihapus. Vaneriana Nary hanyalah salah satu dari ratusan siswi di sekolahnya yang bermodalkan sifat ceria, cerewet, dan rupanya yang manis. Semua orang yang melihat tingkahnya pasti berpikir dua...