Aku mengetuk-ngetukkan jemariku di atas meja. Efek bosan karena menunggu cukup lama.
Iced chocolate di hadapanku sudah gelas kedua yang kupesan.
Iya, selama itu aku menunggu di sini. Menunggu seseorang yang berkata padaku bahwa apapun yang terjadi hari ini, dia akan datang. Jadi, perempuan pintar tapi selalu bodoh soal cinta ini masih setia menunggu di sini.
Aku mendesah pelan.
Di luar hujan. Semakin tinggi persentase ketidakhadirannya hari ini, tapi tetap saja, aku tidak beranjak dari tempat dudukku, padahal bisa saja aku pulang sekarang, toh payung selalu siap sedia di tasku.
Tapi lagi-lagi, kata-kata 'pasti datang' itu berputar-putar di otakku.
"Seharusnya kamu tidak perlu mengatakan seperti itu jika kamu tidak bisa menepatinya," gumamku sambil melihat rintik-rintik air hujan yang membasahi jendela kafe.
Aku sengaja memilih tempat umum seperti ini. Sengaja ingin melihat apakah ia berani datang tanpa penyamaran ke tempat ini atau tidak.
Dan empat jam aku menunggu, boleh aku mengambil kesimpulan sekarang?
Getaran ponselku yang tiba-tiba begitu mengagetkanku. Jantungku rasanya berhenti berdetak beberapa detik karena harap-harap cemas dengan nama yang akan muncul di layar ponselku.
Namun saat kulihat bukan namanya yang muncul, aku menghela napas panjang.
Sepenting itukah dia di hidupku? Sampai-sampai aku mengabaikan panggilan dari rumah sakit.
Sepenting itukah dia di hidupku? Sampai-sampai aku rela menunggu selama ini?
Sepenting itukah dia di hidupku? Sampai-sampai aku rela memesan iced chocolate kesukaannya yang aku benci?
Tidak.
Dia tidak sepenting itu di hidupku.
Ya, dia tidak sepen-,
"Kayla!"
Bagus.
Dia tidak sepenting itu di hidupku tapi suaranya bisa begitu jelas ku dengar sekarang bahkan saat dirinya tidak ada di sini.
Namun, napasku mendadak tercekat ketika dari jendela kafe aku dapat melihat pantulan dirinya ada di sana. Aku menolehkan kepalaku sangat perlahan. Takut itu hanya ilusi seperti yang selalu kualami setiap ingin melihat sesuatu yang begitu kurindu.
Tapi, dia di sana.
Berdiri dengan napas tersengal dan rambut serta bajunya basah. Sontak aku berdiri.
Kucubit tanganku kencang. Begitu ingin memastikan jika ini bukan mimpi dan bukan ilusi yang kubuat.
Namun, ketika tiba-tiba aku merasakan hangatnya pelukannya, aku tahu, bahwa ini bukan mimpi.
"Maafkan aku... aku terlambat sekali ya?"
Aku menjauhkan tubuhku dari pelukannya, menatap sepasang mata yang sedang menatapku dalam. Sesekali ia memberikan senyumannya padaku yang masih terdiam, belum mampu berkata-kata.
"Aku bukan ilusi, Brietta."
Brietta.
Perlahan senyum muncul di bibirku.
Hanya dia, hanya dia yang memanggilku seperti itu.
Jadi...
Ini bukan ilusi?
"Ando?"
Dan hangatnya pelukan Ando kembali menyelimutiku.
"Sudah sadar kalau aku bukan ilusi?"
Aku membalas pelukannya.
Ilusi atau bukan, izinkan aku untuk memeluknya seperti ini sebentar saja.
Ilusi atau bukan, izinkan aku untuk mendengar tawanya sebentar saja.
Ilusi atau bukan, izinkan aku merasa bahwa dia milikku.
Boleh?
••••
AN:
Jangan lupa tinggalkan komentar dan vote-nya ya!💙
Masih sangat awal untuk menebak bagaimana jalan cerita ini ya? Atau ada yang sudah bisa menebaknya?
xo, ae.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth.
Romance[FOREVER SERIES #2] [COMPLETED] Ada sesuatu, di diri Kayla Brietta Noor yang menarik perhatian Ando Nathaniel Reji. Bukan senyumnya yang menawan di antara wajah ketusnya itu, tapi kesamaan nasib percintaan yang membuat Ando, drummer yang tengah diga...