"Kok lo di luar? Nungguin gue ya."
"Nggak kok, barusan nganter mama pergi."
"Loh kok pergi? Padahal gue udah bawain martabak asin kesukaan mama lo."
"Ada acara mendadak."
"Oh."
Aku hanya tersenyum. Ini terpaksa karena keadaan yang memaksaku melakukannya.
Karena kamar perempuan itu banyak privasinya, aku menyuruh Pian untuk pergi ke taman belakang. Hanya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tak lupa juga aku menghidangkan martabak asin yang dibeli Pian tadi.
"Rumah lo sepi ya."
"Ya gini, lagian gue juga anak tunggal, jadi ya sendirian."
"Gue ditakdirkan lahir berarti buat nemenin lo, Rin."
"Iya deh."
"Jadi bantuin gue ngerjain soal ini ya."
"Okey, mana yang sulit?"
"Yang paling sulit itu ngelupain lo dan jauh dari lo."
Aku meletakkan pensil yang aku bawa lalu menjejalkan sebuah martabak asin ke mulut Pian. Laki-laki itu sangat hobi menggombal sepertinya.
"Cie salting."
"Serah deh."
Pian mungkin sama menyebalkannya seperti Dony. Tapi Pian lebih baik daripada Dony. Ah sudah lah, membeda-bedakannya akan membuatku semakin pusing.
Sembari aku mengejakan soal Pian, laki-laki itu tidak mengerjakan apapun. Dia hanya menatapku saja tidak ada yang lain. Aku tahu aku itu cantik tapi ini terlalu berlebihan. Semuanya membuatku tidak nyaman.
"Gue tahu kalo gue cantik, tapi ngeliatinnya ya nggak gitu juga."
"Gue takut lo diambil orang, Rin."
Astaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Boyfriend [END]
Short Story"Jomblo dan gak punya teman adalah perpaduan rasa yang pas." - Erinda Copyright2018 by renata sayidatul