Suasana sore di sekolah adalah hal terbaik menurutku. Mungkin kata-kata tidak bisa mengungkapkannya tapi hatiku bisa merasakannya.
Tadi, aku bersama Elin tapi dia sudah pulang terlebih dahulu karena ada urusan.
Tentang Elin, gadis itu benar-benar menganggapku temannya. Meskipun terkadang aku tidak menghiraukannya saat bicara, dia masih tetap di sampingku hingga kini. Mungkin sekarang aku memiliki dua teman.
"Erin!"
Aku mendongakkan kepalaku dan menemukan Dony di sana. Laki-laki itu tersenyum seraya berjalan menghampiriku. Memalukan.
"Gue anterin pulang yuk!" ajaknya, aku menggelang sebagai jawaban lalu pergi meninggalkannya tapi buru-buru ia mencekal pergelangan tanganku.
"Kenapa gak mau?"
"Ya gak mau."
"Lo gak punya alasan yang bagus buat nolak gue, Erinku, jadi lo harus pulang sama gue."
Jangan memulainya lagi cowok gila. Aku melepaskan tangannya dari pergelangan tanganku.
"Gak mau."
"Lo kenapa dingin banget sih? Ah gue gak boleh gitu, sebagai calon imam yang baik gue harus sabar, jadi kenapa lo gak mau?" diakhir kalimat ia berbicara lembut padaku.
Terkadang aku berdoa juga untuk kewarasan Dony. Aku takut jika lulus SMA nanti dia akan sakit hati karena berpisah denganku.
"Kalo gak mau ya jangan dipaksa."
Aku dan Dony serempak menoleh. Itu Pian. Dan menurutku dia tampak lebih cool dengan jaket itu.
"Lo siapa?"
"Gue pacarnya Erin."
What? Pacar? Kapan aku jadian dengan Pian?
"Ah pacarnya." ucap Dony lalu tiba-tiba laki-laki itu memelukku. Syok? Sangat. Dia benar-benar tidak waras.
Dengan cepat Pian melepaskanku dari pelukan Dony lalu menghajar wajah laki-laki itu.
Ya Allah, semoga mereka berdua bisa mendapat hidayah-Mu. Amin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Boyfriend [END]
Historia Corta"Jomblo dan gak punya teman adalah perpaduan rasa yang pas." - Erinda Copyright2018 by renata sayidatul