[II] Chapter 5: Misunderstanding (II)

2.2K 353 26
                                    

Sungkeman dulu haha.
Anw, play the song on mulmed for a better read. ;)
---

Chaeryong

Cincin.

Jangan salahkan aku ketika pikiranku membayangkan hal-hal aneh begitu mendengar suara Joohyun di ujung sana. Aku langsung mematikan sambungan telepon, meletakkan ponsel Taehyung kembali di atas meja.

Cincin untuk apa? Kenapa dia yang beli? Dan kenapa Taehyung?

Kalau diingat-ingat, Taehyung tidak pernah membelikan cincin untukku. Sama sekali tidak pernah. Satu-satunya cincin yang kupunya juga bisa dibilang properti dari pernikahan. Cincin yang entah sudah ke mana sejak malam itu.

Nyatanya, bukan hanya cincin yang aku hilangkan, kan, Tae? Since that night, we lost many things, even ourself.

Aku melangkah mundur, berniat untuk keluar dari kamar. Namun begitu berbalik, Taehyung muncul dari balik pintu, kelihatan panik. “Chae, kenapa kamu di sini?”

Is it wrong if I’m here? Are you try to hide things from me, Tae?

Itu yang ingin kuucapkan. Itu yang ingin kulontarkan dari bibir. Rasa curigaku membuncah. Bukannya ingin menjadi perempuan super sensitif, hanya saja kepalaku mulai merangkai sebuah hipotesis. Aku tahu Bae Joohyun. Ini bukan pertama kali aku mendengar namanya. Aku ingat sekarang.

Dia manajer cabang perusahaan. Dia wanita yang Taehyung antar di malam sebelum kejadian itu. Dia pemilik email yang sering memenuhi email Taehyung. Dia...

“Joohyun telpon kamu.” Itu yang keluar dari bibirku. Aku menundukkan kepala, siap melangkah keluar dan melewati Taehyung. Namun dia justru menarik tanganku, membuat langkahku terhenti.

“Apa yang kamu bilang ke dia, Chae?” tanya Taehyung cepat. Bukannya seharusnya kamu tanya soal apa yang dia bilang ke aku, Taehyung? Why you act like all this screwed things is here because of me?

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir. Aku tidak bicara, memilih untuk diam. Hanya ingin diam. Hanya ingin meredam emosi. Jangan bicara apapun kalau semua yang mau kamu tanyakan hanya soal dia, Tae. Jangan tanya.

“Kamu marahin dia, Chae? Kenapa diam aja?”

So this is how you wanna play, Kim Taehyung? Fine.

“Yang kamu pikirin dia?” sambarku. Persetan sudah dengan emosi yang ingin kutahan. Kalau memang dia ingin ini, dengan senang hati akan kuberikan. “Kamu lebih peduli sama teman kantor kamu itu dari pada aku? Iya? Good, Taehyung. Good. Dia nanyain soal cincin, are you buying one for her? Setelah itu apa, Tae? Kamu mau ngelamar dia? Mau nikahin dia dan minta anak dari dia karena—“

“Chaeryong! Stop!”

Teriakan Taehyung seolah menghentikkan semuanya. Bibirku terkatup rapat, dan Taehyung menatapku seakan dia siap meledak kapan saja. Dia marah. Setelah sekian lama, dia marah. Benar-benar marah.

“Kamu udah keterlaluan, Chae,” kata Taehyung. “Sejelek itukah Jooyun di mana kamu?”

“Oh, berarti dia kelihatan bagus buat kamu, Tae?” balasku. “Memang dia begitu, kan? You choose her over me.”

“Bukan gitu, Chae.”

“Bukan apa, huh? Jelas dia lebih baik. Toh dia bukan pembunuh kayak yang kamu bilang ke a—“

“Kim Chaeryong! Shut up!”

Taehyung tiba-tiba mengangkat tangannya, seakan sebentar lagi tangan itu akan melayang untuk memberi satu pukulan padaku. Sebelumnya tidak pernah begini. Seharusnya tidak begini. Kami berdua tahu kami masih berada di rumah Mami, dan bukan ini yang seharusnya kami lakukan. Tapi kami melakukannya.

Dalam sepersekian detik aku membayangkan bagaimana rasanya mendapatkan tamparan pertama dari Taehyung, tapi nyatanya aku tak pernah merasakannya. Mami sudah lebih dulu muncul dan berteriak, menarik Taehyung dan mendorongnya menjauh dariku.

“Kamu tuh apa-apaan, Taehyung!?!” bentak Mami. Aku hanya bisa mengikuti Mami yang menarikku menjauh, merangkulku dari depan. “Sejak kapan kamu kasarin Chaeryong kayak gitu?”

“Mi, aku hanya...”

Aku hanya bisa menangis ketika Mami memelukku, rasa sesak menjalar, seketika menyelimuti. Bisa kulihat Taehyung melangkah mendekat, tapi sebelum aku sempat bicara, Mami sudah mendorongnya lebih dulu.

“Lebih baik kamu tenangin diri dulu. Biar Mami sama Chaeryong ke bawah,” kata Mami yang kemudian melepas pelukan. Tangannya berpindah untuk mengelus tulang belakangku selagi aku masih sesenggukan. “Yuk, Chae. Kita ke bawah dulu aja, ya, Nak?”

Aku mengangguk, melangkah berdampingan dengan Mami untuk menuruni tangga. Taehyung menatapku—aku tahu itu bahkan tanpa harus balik menatapnya. Tangannya bergerak untuk menyentuhku, tapi aku menghindar.

Sebelum aku dan Mami benar-benar menuruni tangga, bisikan Taehyung terdengar.

“Sorry, Chae.”

Aku pikir, paling tidak aku bisa kelihatan bahagia di sini, meski hanya sekadar kelihatannya saja. Sayangnya, kenyataan berkata lain.

Maaf, Taehyung. Bahkan untuk pura-pura bahagia sekarang aku juga sudah nggak bisa.

*

Arata’s Noteu:

Oke, ini pendek. Aku mentok aslinya, tapi maksain karena kangen. So, bear with it ya. Lagi coba-coba balikin feels nulis begini lagi. Dan jujur result vote terakhir bikin aku banting otak karena yang menang justru pilihan Chae marah ke Tae. So, this is how it turns out.

Ke depannya aku coba bikin lebih panjang lagi, semoga, haha. Dan, anw. New vote buat chapter berikutnya.

Kalian bisa check di pinned tweet aku di akun twitter:  @arata_kim.

Vote cuman 3 hari, ya. Hehe. Kalau seminggu kapan aku nulis xD

Black Jeans (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang