Sepulang sekolah Dira menunggu jemputan dari sang Mommy. Sudah seminggu ini Dira tidak membawa sepeda pink kesayangannya itu ke sekolah. Mommy dengan teganya menjual sepeda kesayangannya itu dan sebagai gantinya dia mendapatkan sebuah mobil beserta supirnya karena Mommy tidak bisa mempercayai Dira untuk mengendarai mobilnya sendiri. Sungguh kejam menurut Dira.
"Mommy mana ya?" tanya Dira sesekali melirik jam tangannya. Mommy sudah janji bakal menjemput dia sepulang sekolah namun sampai sekarang belum juga muncul. Ketiga sahabatnya sudah pulang sedari tadi.
"Mending nebeng aja sama gue," ucap suara yang berbisik di telinga.
Plak.
Suara tamparan terdengar keras. Dira repleks menampar orang yang berbisik tadi karena terkejut. Mendengar ringisan kesakitan dari belakangnya Dira segera berbalik. Betapa terkejutnya dia setelah melihat orang yang tadi dia tampar. Milo meringis sambil memegang sebelah pipinya yang memerah kemudian tersenyum seolah tidak terjadi sesuatu.
"Milo! maaf."
Dira menyingkirkan tangan Milo yang memegang pipinya. Dira melihat pipi Milo memerah ada rasa kasian dan kesal bersamaan. Tanpa sadar Dira mengelus lembut pipi Milo, Milo menatap Dira dengan tatapan sulit diartikan.
"Gue enggak papa kali," ucap Milo dan menyingkirkan tangan Dira dari pipinya pelan. Dira tersenyum pelan dan salah tingkah ketika ingat apa yang dilakukannya tadi.
"Lo juga yang salah. Siapa suruh ngagetin gue!" omel Dira sambil berkacak pinggang.
"Niat gue baik padahal malah di tampar," gerutu Milo pelan membuat Dira tertawa pelan.
"Gue lagi nunggu Mommy."
"Gitu ya. Oiya ini buat lo, wajib dibawa!" Milo memberi undangan yang terlihat mewah dan maskulin khas lelaki. Dira menatap undangan itu dengan senyum tipis di wajahnya.
"Jangan senyum mulu entar dikira gila lagi," canda Milo membuat senyum Dira lenyap seketika.
"Kapan nih?"
"Itukan ada di undangannya."
"Gue mendadak enggak bisa baca gimana?" kata Dira dengan polosnya membuat Milo mencubit pipinya dengan gemas.
"Hari minggu ini, awas kalau enggak datang!"
"Gue enggak datang ya."
"Enggak bisa. Lo wajib datang!"
"Kenapa? gue enggak datang acaranya tetap jalan kok," ucap Dira acuh membuat Milo kesal.
"Because you're special to me and you must to come."
Blushing.
Dira merasa pasokan udara di sekitarnya tersedot entah kemana, rasanya Dira sebentar lagi bakalan bengek. Spesial bagi Milo, betapa manisnya mulut Milo.
"Undangannya wajib dibawa kalau mau masuk nanti, gue tunggu kedatangan lo!" ucap Milo final seolah itu adalah keputusan yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
"Gue usahain deh," ucap Dira sambil meredakan detakan aneh dari jantungnya.
"Pokoknya WAJIB datang!"
"Iya."
"Jadi ikut gue enggak?
"Mommy gue sudah di jalan."
"Yahh... lain kali aja deh, lo harus mau!"
"Kalau gue ingat ya."
"Entar gue ingatin. Duduk disana ya, lo capek berdiri entar."
Milo segera menarik tangan Dira membawanya menuju halte di depan gerbang sekolahnya. Milo memaksa Dira duduk dengan mendorong bahunya membuat Dira mau enggak mau duduk di atas bangku.
"Dasar pemaksa," gerutu Dira setelah dipaksa duduk.
"Buat kebaikan lo kenapa enggak," ucap Milo lalu ikut duduk disebelah Dira.
Mereka duduk dengan keheningan tanpa ada yang memulai pembicaraan. Milo melihat kearah gerbang sekolah dan melihat ada Tiara yang baru saja keluar dari sekolah. Milo meneriaki nama Tiara membuat Tiara dan Dira menatapnya bersamaan. Dira menatap Milo bingung ketika Milo berdiri dan sedikit berlari menghampiri Tiara yang juga berjalan kearah dia.
"Undangan buat lo!"
Dira mendengarkan pembicaraan Milo dan Tiara diam-diam karena penasaran. Ada rasa tidak suka melihat kedekatan mereka apalagi saat melihat Milo juga memaksa Tiara untuk datang walaupun tidak bilang Tiara spesial buat Milo seperti yang tadi Milo bilang kepadanya tetap saja sebagian hatinya tidak suka.
"Belum di jemput?"
"Belum nih, kak."
"Gue antar ya."
Sial. Buaya tetap buaya, ajak pulang sana sini. Btw cuma dia dan Tiara saja sih yang ditawari tapi siapa tau di luar sepengetahuannya Milo mengajak setiap cewe yang lewat. Gerutu Dira dalam hati kesal melihat tingkah playboy Milo.
"Mil!" teriak Dira mendadak bahkan dirinya juga tidak sadar meneriaki nama Milo. Dira merasa sedikit... cemburu. Dira berubah pikiran ketika melihat Tiara seolah setuju dengan tawaran Milo, dia tidak mau Milo mengantarkan Tiara pulang meski notabenenya Tiara adalah adek kelasnya sendiri dan mereka saling kenal walaupun tidak dekat. Terserah Mommy mau ngomel tujuh hari tujuh malam pokoknya dia tidak rela Milo mengantarkan Tiara pulang.
"Kenapa?"
Tiara menatap Dira dengan senyum tipisnya, Dira jadi berpikir apakah dirinya jahat terhadap Tiara. Milo bingung melihat diamnya Dira padahal tadi Dira memanggil namanya.
"Uhm... gue mau kok dian-"
Tin... tin...
Suara klakson dari mobil yang terdiam di sebelah Dira membuat Dira ingin mengumpat. Mommy membuka kaca mobilnya menampilkan wajahnya yang santai seperti tidak pernah berbuat apa apa. Dira menekuk wajahnya, sudah pasti Tiara pulang bareng Milo hal itu membuat mood Dira berantakan.
"Milo," sapa Mommy ketika melihat Milo yang berdiri tidak jauh dari anaknya. Mommy juga tersenyum ketika melihat cewe yang berdiri di dekat Milo semakin membuat Dira kesal.
"Tante, macet ya?"
"Sedikit. Tadi ada tabrakan di depan Rumah Sakit Melati."
"Gitu."
"Mil, gue duluan!" ucap Dira dengan senyum dipaksa. Dira menatap Tiara yang tersenyum kepadanya, "duluan!" ucapnya dengan nada ketus dan segera masuk ke dalam mobil.
"Kenapa?" tanya Mommy bingung melihat muka anaknya yang cemberut sedari tadi.
Gara-gara Mommy.
"Enggak papa," ucap Dira dan melihat keluar jendela. Di dekat halte Dira menatap dua manusia itu dengan tatapan lasernya. Disana Tiara sedang dibantu Milo saat kesusahan naik ke motornya.
Double shit. Makin mesra aja.
Dira segera memalingkan wajahnya, menatap ke kaca yang berada di depannya. Melihat ke samping membuatnya kesal dan cemburu tentunya. Mommy yang melihat tingkah anaknya hanya bisa geleng-geleng kepala.
Dasar anak muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escape (Completed)
Teen FictionSakit ... Sakit itu kalau kita di sia-siakan oleh orang terdekat kita yang paling kita sayangi padahal kita sudah terlalu percaya dengan mereka tapi mereka malah menjadikan kita sebuah pelarian.