Jangan pergi dan tinggalin gue sendiri disini.
-Adelard Redmilo Emery
***Pagi ini sangat cerah namun cerahnya pagi tidak secerah hati Milo. Hati Milo terasa mendung setelah cintanya ditolak Dira. Entah apa yang membuat Dira menolak Milo. Dengan lesu bagaikan orang yang tidak di kasih makan sebulan, Milo duduk di kursinya. Lardo yang sudah datang daritadi menghampiri Milo yang tidak ada gairah hidup.
"Lesu banget. Kenapa lo?" tanya Lardo penasaran.
"Gue ditolak Dira," ucap Milo pelan namun mampu membuat Lardo melotot kaget.
"HAH? DITOLAK?!" teriak Lardo membuat Milo spontan menginjak kaki Lardo.
"Suara lo toa bego!"
"Maaf. Tapi kenapa?" tanya Lardo prihatin. Pasalnya dia tau rasanya ditolak sama cewe yang kita sayang. Sakit bro.
"Ya mana gue tempe. Emang gue Dira. Sana deh lo gue mau meratapi nasib gue dulu!" usir Milo lalu menyumpal telinganya dengan earphone dan menelungkupkan kepalanya diatas meja.
"Dasar bocah micin. Kayak anak SD tau nggak. Malu-maluin. Kejar, taklukin masa kalah sama adek gue yang kemarin nembak teman ceweknya. Adek gue masih TK loh," ucap Lardo yang menceritakan kelakuan absurb adeknya. Gimana ceritanya anak TK sudah ngerti pacaran. Gini nih kalau kecilnya dikasih tontonan drama alay yang kisahnya tentang pacaran dan berkelahi. Kayak adeknya itu.
"Itu sih adek lo. Bedalah. Pantes aja gitu orang kakaknya gini. Playboy."
"Bangke. Playboy teriak ployboy. Masa nyerah sih. Kadang mulut dengan hati itu beda. Cewek biasanya gitu. Pengen lihat betapa berharganya dia dimata cowok itu, makanya sok-sokan nolak padahal demen. Makanya kejar jangan kasih kendor. Buktiin lo tuh pantes buat dia," ucap Lardo menasehati sahabatnya yang sedang patah hati ini. "Ini baru awal pertempuran yang sebenarnya, bro. Percaya sama gue, Dira itu suka juga sama lo!"
"Oke. Gue bakal perjuangin dia seperti kata lo tadi. Ada gunanya juga lo jadi sahabat," puji Milo membuat lubang hidung Lardo membesar. "Lubang hidung lo membesar tuh. Jagain entar meletus."
"Bangke lo. Laknat!" Lalu mereka tertawa.
***
Pelajaran berhenti saat bel istirahat berbunyi. Suara hentakan kaki orang berlari menambah kebisingan lorong sekolah. Vita, Kira dan Violet berlari dengan napas terburu-buru. Mereka ingin memberi tahu Milo soal keberangkatan Dira hari ini.
"Milo!" panggil Vita saat Milo keluar kelas dengan ketiga sahabatnya. Mereka berhenti, berjongkok mengatur napas setelah olahraga dadakan tadi.
"Kenapa lari-lari?" tanya Lardo bingung.
"Ini penting!" seru Violet.
"Kenapa?" tanya Milo heran.
"Ini tentang Dira!" tambah Kira.
"Dira kenapa?" tanya Alva yang tadi diam mendengarkan. Tumben mereka cuman bertiga. Ada apa dengan Dira.
"Dira hari ini pindah ke London!" seru mereka barengan dalam satu kali napas. Membuat Milo bahkan tiga sahabatnya kaget. Apalagi Milo, niat awal memperjuangkan Dira masa terhenti begitu saja sebelum mencoba.
"Jangan bercanda," ucap Milo sambil terkekeh. Tidak percaya.
"Kami serius. Nih baca!" ucap Vita yang menyodorkan chat dirinya dengan Dira. Disana Dira bilang maaf dan makasih karena sudah menjadi sahabatnya selama disini. Disana juga Dira memberi tahu dia bakal berangkat naik pesawat apa dan jam berapa.
"Jam lima sore," ucap Milo pelan.
Mendadak ucapan maaf Dira kemarin terlintas diotaknya. Firasat buruk selama ini sudah terbukti. Ternyata Dira memang ingin pergi. Sangat jauh malah. Sebegitu bencinya kah dia sampai berniat pindah negara.
"Gue kemarin ditolak dia."
"KOK BISA?"
"Dirakan suka sama lo. Kok ditolak sih?"
"Hah masa sih?"
Seruan tidak percaya sahabat Dira terdengar bersamaan. Apa alasan Dira menolak Milo. Padahal waktu itu Dira curhat kalau dia suka sama Milo sampai nangis waktu menceritakan bagian dimana Milo milih Tiara daripada dia waktu di kantin.
"Belum telat kok, Mil. Paling nggak lo ketemu dia untuk terakhir kalinya," ucap Elvin sambil menepuk bahu Milo.
"Terakhir kalinya ya," gumam Milo dengan senyum kecut.
09/03/2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Escape (Completed)
Teen FictionSakit ... Sakit itu kalau kita di sia-siakan oleh orang terdekat kita yang paling kita sayangi padahal kita sudah terlalu percaya dengan mereka tapi mereka malah menjadikan kita sebuah pelarian.