Da-Hyun mengedipkan matanya beberapa kali. Merasa heran dengan apa yang Tae-Hyung lakukan sejak tadi.
Diam. Pria itu hanya diam di sudut dan sesekali melirik Da-Hyun dan Seul-Ji bergantian.
"Oppa, kau baik-baik saja?" tanya Da-Hyun, hampir berbisik.
Tae-Hyung melirik, kemudian menghela napas berat. "Tidak. Ayah dan Ibu datang ke apartemenku."
Da-Hyun terkejut bukan main. Gadis itu bahkan reflek berteriak karena terlalu terkejut.
"Oh Tuhanku! Kau tidak melakukan sesuatu yang buruk, bukan?" tanya Da-Hyun, hampir menjerit.
"Mereka yang melakukanya kepadaku. Kepada kita: kau, aku, dan Hyo-Jong Hyeong. Sesuatu yang buruk. Sangat buruk."
Seul-Ji yang duduk di samping Da-Hyun hanya dapat memperhatikan Tae-Hyung dari jauh. Namun, Seul-Ji tetap dapat merasakan kesedihan yang Tae-Hyung rasakan saat ini.
Da-Hyun tersenyum. "Sudahlah. Kau seharusnya bisa terbiasa dengan itu."
Tae-Hyung berdecak tak suka. "Bagaimana bisa kau terbiasa dengan kata-kata kejam mereka? Tak ada rasa syukur. Banyak orangtua yang ingin punya anak, namun tak bisa. Mereka yang memiliki anak justru selalu menyumpah serapah anak mereka. Gila!"
"Berdoa saja agar pikiran mereka kembali terbuka," sahut Da-Hyun berusaha menenangkan.
Namun, walaupun terlihat begitu tenang, Da-Hyun ternyata juga merasakan rasa sakit yang justru teramat sangat. Sebagai anak terakhir dan satu-satunya anak perempuan, Da-Hyun berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menenangkan suasana setegang apapun.
Kemudian, jika sudah tidak ada yang melihatnya, gadis itu akan menunjukan kelemahannya.
Seperti saat ini. Beberapa saat setelah Tae-Hyung pamit untuk membeli makan siang yang sudah disepakati bersama Da-Hyun dan Seul-Ji. Da-Hyun seketika menutup matanya dengan bantal.
Da-Hyun menangis tersedu-sedu begitu saja. Seul-Ji yang melihat itu pun segera memeluk Da-Hyun dan berusaha untuk menenangkannya. Hati Seul-Ji ikut terasa sesak, namun gadis itu berusaha untuk tidak menangis.
"Aku lelah, sungguh!" jerit tertahan Da-Hyun yang masih menyembunyikan wajahnya di balik bantal.
"Aku juga berusaha untuk menjadi anak yang berguna. Aku berusaha agar orangtuaku bisa bangga kepadaku, tetapi kenapa mereka selalu seperti itu?!"
Da-Hyun mengangkat wajahnya yang masih penuh dengan air mata seketika, setelah mendengar pintu terbuka.
"Hei! Kau menangis?!" jerit seorang pria yang sebenarnya tidak asing bagi Seul-Ji. Hanya saja gadis itu tidak tahu siapa.
Da-Hyun melempar bantalnya ke arah pria tadi yang kini justru tertawa kencang.
"Astaga! Kau bisa menangis? Hei, gadis Kutub Utara, kau benar-benar menangis?" ledek pria itu seraya beberapa kali tertawa.
"Jeon Jung-Kook brengsek! Pergi kau! Sialan! Gila!" jerit Da-Hyun yang penuh dengan makian, namun tidak dianggap serius oleh pria bernama Jeon Jung-Kook tersebut karena dia masih tertawa.
"Eh? Kau! Bukankah kau teman dari si gadis gila yang menikah dengan Ji-Min Hyeong itu? Siapa namanya? Um-Ji? Myeon-Ji? Hyung-Ji?" ujar Jung-Kook seraya menunjuk wajah Seul-Ji.
Seul-Ji memandang Jung-Kook tak suka. "Namanya Yoon-Ji dan segera turunkan jarimu itu, bocah," ucap Seul-Ji tajam.
Jung-Kook menutup mulutnya seketika dan segera menurunkan tangannya. Jung-Kook berjalan ke sisi ranjang yang berseberangan dengan posisi Seul-Ji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damn Taehyung
FanfictionKarena penipuan penjual apartemen, Cha Seul-Ji terpaksa tinggal dengan pria yang baru belakangan ini ia kenal, Kim Tae-Hyung. Walaupun Tae-Hyung tampan, keren, dan pintar. Tetap saja, sekali ia mesum dan menyebalkan. Ia tetap mesum dan menyebalkan. ...