Tae-Hyung terdiam di sudut kamar. Menatap kosong sebuah foto keluarga yang sudah usang.
Sudut bibir pria itu terangkat, jemarinya mengelus foto seorang bocah laki-laki berumur 5 tahun yang sedang tersenyum cerah.
Tae-Hyung merindukan saat itu. Saat keluarganya masih sempurna. Saat Tae-Hyung dapat tersenyum bebas tanpa memikirkan apapun.
Beberapa jam yang lalu Ayah Tae-Hyung datang ke apartemennya. Mengecam Seul-Ji, menuntut anaknya untuk pulang ke rumah.
"Dasar perempuan sialan! Apa yang kau berikan kepada anakku, hah?!"
Seul-Ji bersikap tenang-tenang saja di hadapan Ayah Tae-Hyung yang lepas kendali. Seperti beruang liar dalam film Brave.
"Gadis yang Ayah sebut sialan tadi memberikku cinta yang tidak pernah Ayah dan Ibu berikan kepadaku."
Tae-Hyung terkekeh sendiri. Terdengar seperti jagoan, bukan? Tapi, itu adanya.
Namun, perlakuan ayahnya sungguh mengecewakan. Tak lama setelah Tae-Hyung mengatakan itu, Ayah Tae-Hyung menampar keras wajah Seul-Ji lalu kembali memaki Seul-Ji keras-keras.
Tubuh Tae-Hyung bergetar hebat. Kepalanya tertunduk dalam seketika dan melempar selembar foto dalam genggamannya tadi jauh-jauh.
"Tae, aku tidak apa-apa," bisik Seul-Ji dari ambang pintu kamar mereka. Memperhatikan Tae-Hyung sejak beberapa menit yang lalu.
Tae-Hyung berlari kecil degan tertatih-tatih ke arah Seul-Ji. Memeluk tubuh mungil gadis itu erat-erat. Seolah ingin melindunginya, walaupun tidak mampu.
"Haruskah aku meninggalkanmu agar tak ada lagi rasa sakit yang hinggap untukmu yang disebabkan oleh diriku?" bisik Tae-Hyung lemah.
Seul-Ji memalas pelukan Tae-Hyung cepat. Mencari kenyamanan di dada Tae-Hyung.
"Justru karena ada kau di sisiku aku sanggup menghadapi semua rasa sakit yang ada," sahut Seul-Ji tanpa ragu.
Mereka terdiam untuk beberapa saat. Saling menyalurkan kehangatan dan mencoba membelakangi dunia yang seolah tak pernah membiarkan mereka bahagia.
"Aku tidak ingin pergi meninggalkanmu," bisik Tae-Hyung lirih.
Seul-Ji terdiam. Semakin erat memeluk Tae-Hyung seolah takut esok tak akan ada lagi Tae-Hyung di dalam pelukannya. Dadanya mendadak sesak.
"Tapi, orangtuaku tidak mendukung kita. Aku harus apa, Seul? Aku benar-benar hilang arah," sambung Tae-Hyung lagi. Kali ini membiarkan emosi menguasainya hingga air matanya turun begitu saja.
Seul-Ji melepas pelukan mereka dengan perasaan tidak rela sama sekali. Ia ingin kembali masuk ke dalam pelukan Tae-Hyung, namun entah kenapa dadanya justru semakin sesak.
Karena satu-satunya jalan yang harus mereka lewati adalah perpisahan.
"Tae-Hyung, haruskah kita berpisah?"
Keduanya terdiam. Baik Seul-Ji maupun Tae-Hyung kini saling tatap dalam keheningan.
"Tidak," sahut Tae-Hyung cepat.
Seul-Ji menghela napas. Berusaha menahan air matanya yang mendadak ingin terjun bebas di pipinya.
"Aku juga tidak ingin kita berpisah. Namun, jika dengan kebersamaan kita justru memunculkan pertentangan dan membuat hubunganmu dengan orang tuamu semakin senggang, akan lebih baik jika kita berpisah, bukan?"
Seul-Ji menggigit bibirnya keras-keras. Tak peduli jika nantinya akan membuat bibirnya berdarah.
"Seul, kita bisa bertahan!" tegas Tae-Hyung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damn Taehyung
FanfictionKarena penipuan penjual apartemen, Cha Seul-Ji terpaksa tinggal dengan pria yang baru belakangan ini ia kenal, Kim Tae-Hyung. Walaupun Tae-Hyung tampan, keren, dan pintar. Tetap saja, sekali ia mesum dan menyebalkan. Ia tetap mesum dan menyebalkan. ...