Bagian 31 : Pelajaran Hidup

9K 1.3K 70
                                    

Rintik hujan turun perlahan. Memasahi tanah yang sedikit lengket hingga menimbulkan beberapa bercak tanah di kaki beberapa orang yang masih berdiri lemas di hadapan sebuah batu nisan.

Tae-Hyung masih terpukul. Menatap sedih makam adiknya. Tak memperdulikan angin dan hujan yang seolah ingin mengusirnya.

"Menangis tidak akan berarti apa-apa sekarang. Karena memang pada kenyataannya, orang hanya akan datang, singgah sejenak, lalu pergi dari kehidupan kita. Kau tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan," ucap Hyo-Jong hampir berteriak untuk mengalahkan suara hujan.

Tae-Hyung menoleh, kemudian menatap dingin Hyo-Jong.

"Kau tampak tegar-tegar saja ya, Hyeong?" cibir Tae-Hyung sinis.

Hyo-Jong maju, semakin mendekat, memeluk Tae-Hyung begitu saja.

"Aku tidak menangis, bukan berarti aku tidak sedih. Hanya saja, sedihku sampai pada tingkat yang tak bisa dideskripsikan. Terlalu menyakitkan dan terlalu menyedihkan untuk diungkapkan hanya dengan lewat air mata," bisik Hyo-Jong di telinga Tae-Hyung.

Untuk beberapa saat, keduanya terdiam. Tae-Hyung membiarkan Hyo-Jong memeluknya.

Tae-Hyung terlalu lelah.


***


Tae-Hyung memasuki rumahnya terlebih dahulu. Meninggalkan Hyo-Jong yang masih memarkirkan mobil ke dalam garasi.

Namun, suara seorang gadis membuatnya menghentikan langkahnya di belakang sebuah lemari besar.

Perlahan, kedua mata sayu Tae-Hyung melebar, menatap Seul-Ji yang tampak sedang diadil dan diintimidasi oleh kedua orang tua Tae-Hyung.

Tae-Hyung ingin melangkah, namun Hyo-Jong segera menarik lengan Tae-Hyung agar dia tidak jadi melangkah.

Tae-Hyung menoleh, menatap Hyo-Jong penuh keheranan.  "Apa?"

Hyo-Jong menggerakan dagunya ke arah sofa yang diduduki oleh Seul-Ji, ayah, dan ibu Tae-Hyung.

"Jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Alasan aku selalu membawaku ke rumah, tidak membangkang meskipun selalu dicaci dan dimaki, kau akan melihatnya."

Tae-Hyung yang tidak mengerti hanya terus mengawasi ketiga orang di ruang tamu tersebut seraya memasang telinganya setajam mungkin.

"Bagaimana kau dan Tae-Hyung bisa tinggal dalam satu apartemen?" tanya Nyonya Kim tegas. Sempat memberikan tatapan jijik kepada Seul-Ji.

Seul-Ji menarik napasnya perlahan. Kemudian, memberanikan diri menatap Tuan dan Nyonya Kim bergantian.

"Itu kecelakaan. Kami ditipu penjual apartemen itu. Karena sama-sama tidak mau mengalah dan juga membutuhkan apartemen, akhirnya kami berbagi," jelas Seul-Ji pelan.

"Kenapa kau tinggal di apartemen? Kau tidak punya rumah atau bagaimana?" tanya Tuan Kim dengan pembawaan yang datar.

Seul-Ji menggigit bibirnya keras-keras. Hal ini menyangkut pekerjaan Eun-Woo sebagai detektif. Seul-Ji tidak boleh asal melangkah.

"Aku punya rumah. Tapi, hanya aku tinggali dengan kakak laki-lakiku karena orang tua ku sudah meninggal. Karena kakakku ada beberapa urusan di luar negeri, aku disuruh membeli apartemen dan tinggal di sana sampai dia kembali ke Korea," jelas Seul-Ji, berusaha setenang mungkin.

"Memangnya apa pekerjaan kakakmu?" tanya Nyonya Kim seraya memajukan diri, ingin tahu.

"Um... Oppa bekerja sebagai... um...,"

Damn TaehyungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang