Bab 3

9.4K 894 82
                                    

Yang Mulia Sasuke membawaku ke menara di ujung kastil. Menara itu terpisah dari keramaian dan dijaga oleh dua orang pengawal bertubuh kekar yang berdiri di dasar tangga. Mereka berdua membungkuk hormat pada Yang Mulia Sasuke saat kami lewat, dia balas dengan anggukan singkat. Kalau saja Yang Mulia Sasuke tidak memegang tanganku yang berada di lengannya, aku tak akan mampu mengikutinya. Dia begitu tergesa-gesa menaiki tangga, kakiku semakin goyah karena lelah berdansa.

Suamiku, pria yang sama sekali tidak kukenal, akan menyempurnakan pernikahan kami malam ini. Aku hanya tahu hal dasar mengenai apa yang akan kami lakukan nanti dan sungguh, aku takut, namun aku berusaha keras untuk tidak menunjukkan perasaan itu. Namun bayang-bayang kesakitan dan darah yang mengalir terus melintas di benak ini.

Kami sampai di depan salah satu kamar. Saat Yang Mulia Sasuke hendak membuka pintu, dia memerhatikan aku dari kepala hingga ujung kaki lalu meletakkan tangannya di punggungku, kemudian membawa kami berdua masuk. Kudengar pintu tertutup di belakang, mengunci kami berdua di sini untuk malam ini.

Tanpa peringatan, Yang Mulia Sasuke mendorongku sampai punggung ini menempel di daun pintu. Tangannya langsung meraih tudung gaun pernikahan dan melemparkannya ke samping, lalu dia raih rambutku dan melepaskan ikatannya hingga tergerai. Mata Yang Mulia Sasuke kembali menatapku dari ujung kepala hingga kaki. Aku kaget melihat caranya memandangiku. Dan tanpa aba-aba lagi, dia langsung mengulum bibir ini.

Namun ciuman kali ini tidaklah sama dengan ciuman kami di depan altar. Sentuhan bibir Yang Mulia Sasuke sama sekali tidak selembut kecupannya di punggung tanganku, bibir atau pun leherku saat kami berdansa tadi. Ciuman ini terasa begitu mendesak dan tergesa-gesa. Yang Mulia Sasuke sedikit menelengkan kepalaku dan lidahnya langsung menjilati bibir ini sebelum memasukinya.

Tubuhku langsung beku. Bukannya aku tidak nyaman, tapi ini begitu asing dan tak terduga. Lidahnya terasa seperti anggur. Napasnya memburu di bibir ini. Seandainya aku bisa bernapas, aku yakin napasku juga akan seperti itu.

Kuletakkan tanganku di bahu lebarnya, karena aku tidak tahu harus melakukan apa atau memegang apa selagi lidahnya masih menggeluti lidah ini dan tangannya sibuk menjamahi tubuhku. Tangan kirinya bergerak dari bahuku lalu ke lengan, sampai akhirnya ke pinggang. Kemudian dia menggendongku sedikit dan menarikku ke dalam pelukannya. Ada sesuatu yang panjang dan keras menempel di pusarku.

Tidak mungkin itu ... Mana mungkin ... Dia ... Tidak akan mungkin itu bisa muat di tubuhku.

Napasku terengah-engah, bibirnya berhenti menciumi bibir ini dan berpindah ke leher. Dia selimuti dengan napasnya yang hangat dan basah hingga membuatku gemetar. Yang Mulia Sasuke kemudian menurunkan aku. Tangannya bergerak ke samping, jari jempolnya menyentuh buah dadaku. Aku terkesiap. Bibirnya terus mencumbu setiap jengkal kulitku yang terlihat, meskipun sekarang tangan Yang Mulia Sasuke sibuk melonggarkan ikatan celananya dan membuka kaitan pedang. Dia lalu membuka baju dan kembali memelukku erat sambil mencari-cari sesuatu di punggungku.

"Gaun sialan!" gerutunya. "Bagaimana cara melepaskannya?"

"Rendanya diikatkan di belakang, Yang Mulia," jawabku gemetaran.

Yang Mulia Sasuke berhenti bergerak dan dia mundur selangkah. Mataku terpejam dan menunggu Yang Mulia Sasuke membalikkan tubuhku untuk membuka gaun ini, aku tidak bisa berhenti gemetaran. Sesakit apa nantinya? Apa berlangsung lama? Dia bertubuh besar, sedangkan tubuhku kecil ... bagaimana kalau nanti dia anggap aku kurang memuaskan? Bisa saja dia membatalkan pernikahan ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa aku akan kembali jadi pelayan Tuan Putri Karin? Aku harus rileks dan tenang. Aku ingat seseorang pernah bilang sakitnya akan terasa berkali-kali lipat kalau tubuhmu tidak rileks.

"Oh, Sakura," kata Yang Mulia Sasuke, napasnya menerpa bibirku. "Buka matamu, istriku."

Kuikuti perintah Yang Mulia Sasuke dan langsung menatap matanya. Namun aku tidak bisa berlama-lama melihat caranya memandangiku. Aku langsung menunduk sambil menggigit-gigit bibir. Dia letakkan ibu jari dan telunjuknya di daguku.

Requiem for a DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang