Bab 4

9K 778 74
                                    

Ketika terbangun tubuh ini rasanya hangat, dan kehangatan itu bukan berasal dari bara api di perapian.

Aku berbaring di dada Sasuke, kepalaku berada di pundaknya dan tanganku melintang di perutnya. Tangan kiri Sasuke melingkari bahu sampai ke punggungku, memelukku dengan erat. Tangan kanan Sasuke berada di lenganku yang terletak di atas perutnya. Selimut sudah berpindah posisi dan sekarang hanya menutupi pinggang kami.

Dalam cahaya api yang redup, kulihat secara dekat bentuk otot tubuh Sasuke. Kemudian kupejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan urat saraf. Dengan perlahan, aku kembali membuka mata dan memerhatikan tubuh menakjubkan suamiku. Sasuke punya bahu yang lebar, otot-ototnya sedikit tertekuk saat tubuhnya bergeser dan memelukku lebih erat lagi. Otot perut Sasuke begitu sempurna, tampilan bubungan di bawah kulitnya menjeritkan kekuatan fisik. Secara materi, dia memang sempurna seperti yang dikatakan orang-orang tentang pangeran.

Apa yang kulakukan di sini dengan pria ini?

Mataku rasanya sakit dan aku ingat bagaimana aku terlelap - dengan air mata dan isak tangis dalam pelukan suamiku. Dia pasti menganggapku sangat lemah, atau paling tidak, tidak tahu terima kasih atas apa yang telah dia lakukan - menjadikan aku sebagai istrinya. Berbaring di dalam pelukannya membuatku merasa sangat tidak berharga, rapuh, dan takut. Seharusnya perasaanku menjadi tenang karena Sasuke tidak menyakitiku, tapi tentu dia bisa saja melakukan itu, itu haknya. Meski dia telah menghiburku dan aku berbaring di pelukannya saat tidur, namun aku sama sekali tidak dapat menemukan ketenangan dalam dirinya, karena aku masih bingung dengan sifat asli dan motif Sasuke sebenarnya.

Sambil bergerak hati-hati, aku menyelinap keluar dari bawah lengan Sasuke, merangkak ke sisi lain tempat tidur dan turun. Aku was-was Sasuke akan terbangun saat lengannya terlepas dari punggungku dan mendarat di seprai. Aku menggigil kedinginan dan berjalan menuju tempat buang hajat, lalu ke perapian yang membara dengan cahaya oranye. Setelah memilih dua balok kayu, kutaruh di atas bara lalu meniup dengan lembut sampai api menyala, menghangatkan udara di sekitarku. Balok kayu yang kupilih ini cukup berat dan sepertinya akan tahan untuk beberapa jam ke depan. Kulirik jendela. Belum terlihat tanda-tanda fajar akan muncul, jadi aku kembali berjalan perlahan ke tempat tidur.

Setelah merangkak di bawah selimut, aku berbaring terlentang di sisi tempat tidur yang jauh dari Sasuke. Seprainya terasa dingin saat bersentuhan dengan kulitku. Tubuhku agak menggigil. Kutatap langit-langit kamar. Pikiranku kosong - aku linglung, aku menebak-nebak. Yang pasti aku bersyukur atas kebaikan Sasuke, tapi aku masih khawatir dia akan berubah pikiran tentang kekuranganku untuk memberinya malam pernikahan yang layak. Jika kami belum berhubungan intim, apa kami masih layak dikatakan sudah menikah? Meskipun kehidupanku selalu dikendalikan orang lain, namun tidak pernah aku sebimbang ini. Aku kembali menggigil.

"Kau kedinginan," kudengar suara lembut Sasuke dari sisi lain tempat tidur. "Kemarilah."

Kugigit-gigit bibir dan dengan hati-hati berguling mendekatinya. Sasuke mengulurkan tangan, lalu meraih lengan atasku, menarik tubuhku kembali ke posisi semula. Tangannya yang berada di punggungku sedikit terangkat dan dia mulai membelaiku dari puncak kepala sampai ke ujung rambut.

"Ini lebih baik," kata Sasuke, lalu dia mendesah. Aku meliriknya, namun dia sudah tertidur lagi. Kurebahkan kepala di bahunya, lalu kupejamkan mata. Rasanya waktu berlalu baru beberapa menit saja, namun saat mataku kembali terbuka, cahaya matahari sudah terang menyinari kamar.

Tangan Sasuke bergerak di punggungku dari atas ke bawah. Sentuhan lembutnya mengawai rambut dan bahu ini. Tanganku menyentuh dadanya, dan detak jantungnya terasa di bawah telapak tangan ini. Aku mendongak dan ternyata Sasuke sedang memerhatikanku.

Requiem for a DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang