Bab 25

5K 483 129
                                    

Tubuhku rasanya panas, lalu kepala ini pusing, dan kemudian lantai kamar terlihat semakin dekat. Suamiku dengan cepat mendekati aku. Ucapannya terus terngiang di dalam benak ini, menarikku lebih jauh ke dalam kegelapan. Walaupun begitu, tetap kurasakan lengan Sasuke memelukku dan kemudian semuanya berubah jadi gelap gulita.

Meskipun pikiranku sedang kacau-balau dalam kegelapan, aku masih bisa dengar suara Sasuke.

"Tuhan ... kumohon ... jangan ..."

Lengannya erat memelukku, meski aku sepertinya tidak bisa membuka mata. Sasuke menggendongku.

"Kenapa? Kenapa Kau lakukan ini padanya? Aku mengerti jika aku harus dihukum, tapi bukan dia! Jangan dia!"

Tubuhku ditimang-timang, masih dalam pelukan suamiku.

"Aku minta maaf, istriku ... cintaku ... sangat-amat menyesal ..."

Entah berapa lama otakku ingin menolak semua yang ada di sekitar - ruangan ini, ucapan Sasuke yang baru saja kudengar - semuanya. Aku tidak dapat memberi Sasuke apa yang seharusnya dia miliki - aku masih belum bisa memberinya keturunan. Jauh di relung hatiku yang paling dalam, aku tahu cepat atau lambat ini akan terjadi.

"Jangan hukum dia ... kumohon, Tuhan, kumohon!"

Udara akhirnya mengisi paru-paru ini, dan mataku perlahan terbuka. Lengan Sasuke masih erat memelukku di dadanya, dia duduk di kursi kami. Dia sedikit bergerak, menimang-nimang tubuhku, menggendongku seperti ... ironisnya ... bayi. Sebelah tangan Sasuke sedikit menekan pipiku ke dadanya.

"Jangan dia ... jangan dia ..."

Entah bagaimana caranya aku berhasil membuka mata, tapi kepala ini masih pusing dan penglihatanku tetap kabur. Kulihat wajah suamiku, tatapannya mengarah ke langit-langit selagi dia terus memohon lagi dan lagi. Cahaya dari perapian menyinari wajahnya. Kuulurkan tangan dan menyentuh tulang pipinya yang basah.

Belum pernah aku lihat suamiku menangis.

Dia kemudian menatapku, dan kepedihan yang terpancar dari matanya bergabung dengan rasa sakit yang kurasa.

"Kumohon ... Sakura, kumohon," Sasuke mengiba-iba. "Ini bukan keinginanku ... kau harus tahu itu ..."

"Dia akan datang ke sini ... untuk melahirkan anakmu?"

Sasuke memejamkan matanya rapat-rapat, kepalanya mengangguk sekali sebelum kembali membuka mata.

"Apa tidak ada pilihan lain?" bisikku pada Sasuke dan kepedihan langsung terlihat berlipat ganda dalam pancaran matanya.

"Aku tidak menginginkan ini, Sakura," seru Sasuke padaku. Ujung jemarinya menekan sisi tubuhku. "Jika ada cara lain, aku akan mencarinya, aku bersumpah padamu! Aku tidak ingin ini terjadi! Aku tidak diberi pilihan!"

Napasku kembali sesak.

Ucapan Sasuke menerjangku, membuatku kedinginan, lebih daripada angin musim dingin yang bertiup kencang. Otak ini berusaha menyingkirkan kata-kata itu dariku - menyangkal bahwa semua ini pernah terucap.

Tapi kenyataan berkata lain.

"Apa Ayah Obito yang menuntut ini?" sungguh, aku tidak perlu dengar jawaban Sasuke - cuma itu satu-satunya cara agar Sasuke mau berkompromi.

"Ya," Sasuke menegaskan.

"Apa kalian mendiskusikannya sebelum aku kembali ke aula besar?" tanyaku, sejujurnya aku tidak ingin dengar jawaban Sasuke, tapi aku harus tahu.

Sasuke menarik napas dalam-dalam, lalu duduk bersandar di kursi. Tangan Sasuke menangkup bagian belakang kepalaku, dan dia menarik tubuh ini ke dadanya. Kudengar detak jantung Sasuke yang kencang di bawah pipi.

Requiem for a DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang