Bab 16

11.3K 663 62
                                    

Setelah mengecup dahi ini, Sasuke dengan mudah menggendongku dalam pelukannya dan membawaku ke tempat tidur kami. Dia mendudukkan aku di tepi tempat tidur, lalu mencium lembut bibirku sebelum mengambil beberapa batang lilin dan mengaturnya di meja kecil. Sasuke menutup jendela, lalu melempar dua batang kayu bakar ke dalam perapian sebelum kembali ke sisi tempat tidur. Dia sentuh rambutku dengan ujung jemarinya.

"Aku tidak tahu persis apa yang dikatakannya padamu," kata Sasuke, "tapi dia bohong. Kau begitu cantik dan menawan."

Aku menunduk dan menggigit bibir, wajahku tidak diragukan lagi sudah kembali semerah apel dan entah bagaimana cara menanggapi pernyataan Sasuke ini. Tuan Putri Karin selalu menegaskan bahwa wajahku tidak lebih dari sekadar kain polos, dan aku harus menganggap hal itu sebagai berkah dari Tuhan. Karena tak seorang pun ksatria akan mau memilihku, jadi aku tidak akan berakhir seperti Kaori - bekas pakai dan tak lagi berguna.

Sasuke menyentuh daguku, dan dia memiringkan kepalaku agar dapat memandang mata ini.

"Kau cantik," bisiknya.

"Apa sebaiknya aku mengenakan gaun malam?" tanyaku, ingin mengalihkan perhatian Sasuke dari topik ini. Perutku rasanya sudah penuh dengan kupu-kupu yang sibuk menari kesana-kemari.

"Sepertinya tidak perlu, istriku," kata Sasuke sambil tersenyum separuh. "Aku bisa membantumu membuka gaun yang kaukenakan sekarang, kalau kau mau."

Sasuke berlutut, hingga matanya sejajar dengan mataku. Dengan ujung jarinya di tepi rahangku, dia memiringkan kepala dan menatapku.

"Kau sungguh luar biasa untuk dilihat, istriku," kata Sasuke pelan. "Aku tidak pernah mempelajari kata-kata indah dari para penyair, tapi melihatmu hari ini di padang rumput - dengan kulitmu yang indah terpapar di bawah sinar matahari - itu adalah pemandangan yang menakjubkan. Sepertinya aku harus belajar beberapa kata indah, jadi aku bisa mengekspresikannya dengan benar."

Panas kembali membakar wajah ini, dan ibu jari Sasuke langsung mengelus tulang pipiku.

"Menawan," Sasuke berbisik sambil kembali berdiri. Kemudian dia membasahi bibirnya, aku cepat-cepat menunduk. Kudengar Sasuke menarik napas dalam-dalam lalu dia hembuskan perlahan sebelum kembali bicara. "Kau yakin ingin melakukan ini, Sakura? Aku tidak akan mengusirmu jika kau masih mau menunggu."

Sambil melihat ke dalam mata Sasuke, aku langsung tahu maksudnya. Aku merenung, berpikir tentang apa yang akan kami lakukan, dan diam-diam bertanya dalam hati apa aku siap untuk itu. Aku ingat setiap kali Sasuke menyentuhku - selain dari saat dia menyeretku dengan kasar keluar dari aula besar - dia selalu bersikap lembut. Memang benar tangan Sasuke telah melahirkan sensasi memabukkan di tubuhku, aku bahkan tidak tahu sensasi seperti itu ada sebelumnya. Dua kali Sasuke menciptakan sensasinya, dan sekarang aku tahu apa yang dia dambakan, aku menyesal dia tidak merasakannya ketika menyentuh tubuhku. Aku ingin Sasuke mengenyam hal yang sama. Sasuke bilang dia hanya akan merasakan sensasi itu ketika berada di dalam diriku, dan meskipun bayangan kondisi Kaori masih melekat di kepala, Sasuke bukanlah Yang Mulia Suigetsu. Sasuke tidak pernah memaksaku ketika aku belum siap, dan jelas dia tidak akan memaksaku sekarang.

"Kau boleh bilang tidak, Sakura," kata Sasuke pelan. "Aku tidak akan marah padamu. Aku mau menunggu sampai kau juga menginginkan aku."

Aku berdiri perlahan, dan Sasuke mundur selangkah dariku. Ketika kulihat matanya, di sana ada ketakutan dan ketidakpastian. Oh, betapa ironis situasi ini. Pangeran yang menjarah keperawanan selusin tuan putri merasa gugup saat akan bercinta denganku. Ini konyol. Aku mempersempit jarak di antara kami, mengambil langkah mendekati Sasuke dan mengaitkan lenganku di lehernya. Sasuke kembali membasahi bibirnya. Aku berjinjit agar bisa mencium bibirnya.

Requiem for a DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang