Bab 7

7.9K 741 43
                                    

Mataku rasanya perih, entah karena asap perapian atau air mata yang sudah lama kering di pipi. Yang pasti mataku bengkak dan merah. Aku benar-benar lupa waktu, tapi aku yakin sekarang sudah lewat tengah malam. Empat balok kayu berukuran besar telah lenyap dilalap api sejak aku kembali dari serambi yang menghadap ke taman.

Aku kaget ketika mendengar suara derit pintu, lalu aku berbalik dan melihat Sasuke masuk dan menutupnya dengan pelan. Diam-diam dia berjalan melewati ruang rekreasi, melirik ke arah tempat tidur dan kemudian ke sekeliling ruangan sampai mata kami bertemu. Keningnya berkerut, sejenak dia kelihatan bingung.

"Sakura, kukira kau sudah tidur sekarang."

Kepalaku tertunduk. Aku sadar aku belum ganti gaun dengan pakaian malam. Semua tenagaku habis karena memikirkan apa yang hendak kukatakan padanya saat dia kembali dan apa yang mungkin dia lakukan sampai larut malam begini jika tidak berada di kamarnya sendiri. Cepat-cepat kualihkan pikiran. Sekarang Sasuke sudah ada di depanku, tapi aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang sudah kususun sebelumnya.

"Aku ... menunggumu," kataku. "Aku tidak tahu apa kau mau ... um ... minum teh ... atau lainnya."

Tangan Sasuke naik ke kepalanya, dia usap rambutnya sendiri saat melintasi ruangan.

"Sakura, kau terlihat lelah," kata Sasuke sambil berjalan ke mari dan meraih tanganku. "Aku minta maaf. Aku tidak tahu kau akan menungguku."

Sasuke menarikku berdiri di sampingnya. Aku memalingkan muka, tapi jemarinya langsung berada di daguku, memaksaku untuk kembali menatapnya.

"Apa kau baik-baik saja, Sakura?"

"Aku baik-baik saja, Tuanku ... Sasuke." Aku menghela napas. Sampai kapan aku akan terus salah memanggilnya?

"Baik-baik saja," dengus Sasuke. "Kau tidak terlihat baik-baik saja."

Aku kembali berusaha memalingkan muka dari Sasuke, tapi jemarinya yang masih menempel di dagu ini tidak mengizinkanku untuk pindah. Aku hanya bisa mangalihkan tatapan mata dan memusatkan perhatian pada perapian.

"Katakan padaku ada apa, Sakura," tuntutnya dan aku kembali merasakan air mata yang menyengat. Semua kalimat yang kupertimbangkan selama berjam-jam seraya menunggunya kembali lenyap sudah dari kepala dan aku tidak tahu harus bicara apa.

"Katakan padaku!" kata Sasuke lagi, suaranya lebih mendesak. Dia menggeser kepalanya untuk dapat menatap mataku.

"Aku hanya ..." napasku tercekat, tenggorokanku kering, dan untuk sejenak aku tidak bisa berkata.

Namun pada akhirnya aku berhasil mengeluarkan suara seiring dengan air mata yang semakin deras. "Aku masih ... masih belum tahu ... apa ... apa ... apa yang kauharapkan dariku."

Mata Sasuke terpejam sejenak, lalu dia menarik napas dalam-dalam.

"Aku tahu, Sakura," Sasuke akhirnya menjawab. Dia buka mata dan kulihat ada kecemasan di sana. "Aku khawatir aku belum jadi suami yang pantas bagimu. Aku juga tidak tahu bagaimana menjadi suami yang baik untukmu, tapi aku tahu apa yang telah kulakukan selama ini belumlah cukup. Aku sama sekali belum mempersiapkanmu dan kita hampir tidak pernah bicara, tapi sekarang sudah larut dan kau terlihat sangat lelah. Aku harus memikirkan kesehatanmu, lagi pula sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahas semua ini."

Sasuke melambaikan tangan di antara jarak kami berdua sebelum kembali mengusap rambutnya. Rambutnya makin kusut dan bahkan ada yang turun ke dahi. Aku mengambil waktu sejenak untuk mengendalikan air mata sebelum kembali bicara.

"Apa kau masih marah padaku?" tanyaku pelan, agak takut mendengar jawabannya.

Sasuke menghembuskan napas sebelum menggeleng.

Requiem for a DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang