Bab 33

5.5K 611 122
                                    

Tatapan mata Sasuke membeku, dan di lubuk hatiku aku tahu Sasuke sedang berusaha keras menyembunyikan ketakutannya. Tangan Sasuke terkepal sejenak sebelum dia memegang gagang pedang dan pintu kereta kuda.

"Jangan tinggalkan kereta ini."

Aku hanya bisa mengangguk, sadar betul bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan Sasuke dalam masalah ini. Sasuke melirik bagian bawah bangku tempat duduk kami, dan bisa kubayangkan apa yang ada di dalam pikirannya. Aku ingin memeluk Sasuke, menawarkan sedikit kenyamanan untuknya, tapi tidak ada waktu. Aku bahkan rela mencoba masuk ke dalam bangku jika itulah yang akan mengurangi kekhawatiran Sasuke, tapi tidak mungkin orang dewasa muat di dalamnya, apalagi wanita yang sedang hamil tua sepertiku.

Sasuke kembali menatap mataku, dia sepertinya hendak mengatakan sesuatu, tapi alih-alih Sasuke langsung berbalik. Sasuke keluar dari kereta dan dia tarik pedangnya begitu pintu tertutup. Aku berpindah posisi dekat ke pintu kereta agar bisa dengar apa yang terjadi di luar, walaupun suaranya agak teredam.

"Mereka tidak punya tanda pengenal," kata salah seorang pengawal kami.

"Pasukan bayaran," jawab suara lain. "Jumlah mereka begitu banyak."

"Berbalik!" kudengar perintah Sasuke. "Kita harus kembali!"

"Sudah terlambat, Yang Mulia!"

"Keluarkan senjata kalian!"

Dalam hitungan detik saja, sudah terdengar suara dentingan besi. Kututup mulut dengan tangan, meski aku yakin jerit sekeras apa pun yang keluar dari bibirku tidak akan terdengar hingga ke luar pintu kereta. Awalnya aku menjauh dari pintu, tapi kemudian aku kembali mendekat sambil berusaha mengenali suara teriakan dari luar. Ini tidak membuahkan hasil - ada terlalu banyak orang yang berteriak dikombinasikan dengan suara kuda dan pedang yang saling berbenturan. Tanpa sadar kugigit bibir ini keras-keras, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Sayangnya, langkahku selanjutnya bukan akulah yang menentukan.

Suara yang terdengar sedikit berkurang, dan sekarang hanya ada teriakan dan erangan yang teredam. Namun tiba-tiba saja ada lebih banyak suara, dan kemudian pintu kereta dibuka paksa. Aku menjerit kaget dan cepat-cepat beranjak menjauhi pintu kereta kuda. Seorang pria berambut hitam dengan muka penuh jenggot memandangiku sebelum naik ke kereta kuda, lalu dia tarik lenganku dengan kasar.

"Dia di sini!" teriaknya.

"Lepaskan aku!" jeritku sambil menancapkan kuku jemari ke lengannya, tapi tampaknya tidak berpengaruh apa-apa. Dadaku sesak karena ketakutan, meski aku berusaha tidak menunjukkannya. "Lepaskan aku sekarang! Sasuke!"

Suara tawa pria berambut hitam itu membungkamku dan membuat tubuhku merinding. Dia menarikku keluar pintu kereta kuda.

"Dia tak lagi berguna untukmu," cibir pria itu.

Matahari yang bersinar cerah membuatku sulit untuk melihat, namun ketika mataku sudah terbiasa dengan cahayanya, kulihat tubuh-tubuh tergeletak di sekitar kereta kuda. Tubuh kusir kereta kuda kami terbaring di dekat tempat kuda seharusnya berada, tapi kuda-kuda itu sudah tidak lagi terikat. Dua pria yang berbaring telentang dengan mata kosong menatap langit adalah pengawal yang kukenal, sementara yang lainnya tidak kuketahui identitas mereka. Tidak jauh dari kereta kuda, ada seorang lelaki bertubuh besar dan kekar yang masih memegang gada.

Saat itulah kulihat sosok yang tergeletak di sampingnya. Pemandangan ini membuat leherku bagai dicekik oleh tangan kasar dan aku kehabisan napas.

Tidak ...

Ketika kulihat tubuhnya di tanah, dadaku menyempit dan aku tidak bisa menarik napas untuk mengeluarkan suara. Tubuhku rasanya ingin jatuh begitu saja dan meringkuk, tapi kaki ini masih tetap kokoh untuk terus berdiri. Kulihat pakaian di bagian bahunya yang tertutup kulit berwarna cokelat, pedang yang masih digenggamnya, dan rambutnya yang berwarna hitam basah kuyup karena keringat dan menempel di leher. Dia menghadap ke tanah, dan dia tidak bergerak.

Requiem for a DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang