Bab 17

9.1K 618 53
                                    

Sasuke sama sekali tidak bercanda ketika bilang ingin bercinta denganku di pagi hari.

Ketika matahari mulai naik setelah kami menyempurnakan pernikahan ini, bukan hanya aku terbangun dalam pelukan hangat suamiku, tapi juga karena lembab bibirnya di payudaraku dan panas dari tangannya saat dia meraih area intim di antara kaki ini. Sasuke hanya bicara lewat gerak mulut dan tangannya, menyelimuti tubuhku dengan sentuhan dan ciumannya. Begitu tangan Sasuke berhasil membuat napasku terengah-engah, dia putar tubuhku dan perlahan mendorong kejantanannya masuk ke dalam dengan lembut.

Ada rasa ngilu di area antara kedua kakiku. Tidak menyakitkan, namun jelas terasa. Sasuke bergerak perlahan, dalam hati aku bertanya apa dia tahu aku akan merasa seperti ini, karena ritmenya bahkan lebih lembut daripada tadi malam. Kugapai punggung Sasuke saat dia membungkuk di atas tubuhku dengan kedua lengannya terletak di samping bahu.

Sasuke bergerak perlahan mendorong tubuh ini, napasnya yang panas dan lembab menerpa leherku. Lengannya memelukku erat, menyatukan tubuh kami dari bahu ke pinggul. Sasuke terus memompa, matanya terpejam, dia terus berbisik tubuhku sungguh nikmat dan betapa dia sangat menginginkanku.

Sasuke menempelkan dahinya ke leherku, dan lenganku melingkari kepalanya saat gerakannya semakin cepat, lalu dia mengerang di kulitku. Sasuke berhenti bergerak, namun terus merintih tidak jelas ketika benihnya tersebar dan menghangatkan rahim ini. Sasuke kembali memenuhi leherku dengan ciuman-ciuman kecil. Napasnya mulai tenang, tangannya membelai pinggul dan sisi tubuhku. Sasuke kemudian mengulum bibirku dengan lembut sebelum menarik kembali kejantanannya dan menatapku sejenak. Dia lalu berguling ke samping. Aku sedikit meringis saat kejantanannya ditarik keluar dari tubuhku.

"Apa sakit?" tanya Sasuke pelan. Jemarinya menelusuri pipiku.

"Sedikit," aku mengaku. Mata Sasuke menyipit karena khawatir, jadi aku cepat-cepat menjelaskan. "Tidak terlalu sakit. Aku baik-baik saja."

"Sakitnya akan hilang dalam beberapa waktu." Sasuke menciumku dengan lembut. "Jika terlalu sakit, kau harus memberitahuku."

"Baiklah, Sasuke. Tapi sungguh, sakit ini tidak mengganggu," aku meyakinkannya. Aku tidak ingin berusaha terlalu keras dalam membujuk Sasuke agar dia mau bercinta lagi denganku.

"Maafkan aku, Sakura," gumam Sasuke di leher ini. Dia terus menciumi leherku sembari tangannya sibuk menjelajahi kulit ini.

"Maaf kenapa?" tanyaku.

"Seharusnya aku tidak bercinta lagi denganmu secepat ini," kata Sasuke. Dia memalingkan muka sejenak, lalu kembali menatapku sambil tersenyum. "Aku tak kuasa menunggu lebih lama lagi. Kau berbaring dengan tubuh polos di dalam pelukanku, sungguh menyajikan banyak sekali godaan."

"Kau lapar," kataku, menggigiti bibir untuk menyembunyikan senyum.

"Lapar?" tanya Sasuke, dia bingung.

"Um ... kau bilang kau punya nafsu makan yang tinggi," aku mengingatkannya.

Sasuke tertawa, matanya berbinar-binar, tidak menunjukkan tanda-tanda seorang tiran seperti sehari sebelumnya. Senyum dan ekspresi Sasuke yang cerah membuatnya terlihat sangat muda, dan dia sepertinya telah menjelma jadi anak lelaki yang sangat tampan, bukan lagi seorang pewaris tahta yang tidak dapat diprediksi dan terkadang penuh dengan kekerasan.

"Itu benar," Sasuke mengaku. Matanya berubah semakin gelap saat menatapku, meskipun kesan jenaka masih ada di sana. "Benar sekali. Mungkin aku akan mengeluarkan mandat agar kau tetap di sini, di tempat tidur ini, sepanjang hari."

"Kalau kau tidak keluar dari tempat tidur, sepertinya kau akan lapar sungguhan," kataku. Aku tahu aku tersipu malu, karena meskipun aku paham permainan kata seperti ini umum dilakukan oleh pasangan, tapi aku tidak pernah terlibat sebelumnya, entah aku melakukannya dengan benar atau tidak. Apa Sasuke paham maksudku? Sebaiknya aku bicara terang-terangan. "Maksudku, pada akhirnya kau ingin makan sarapan, bukan?"

Requiem for a DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang