Bab 32

8.2K 614 99
                                    

"Asal kau tahu saja, anakmu ini mungkin bukan laki-laki."

Lengan Sasuke melingkari pinggangku saat dia membungkuk dan mengecup telingaku.

"Memang benar bisa saja perempuan," kata Sasuke, "tapi yang ini laki-laki."

Tangan Sasuke bertumpu di pinggulku, kemudian dia menggelitiki sisi tubuhku. Aku tertawa dan mendorong tangannya agar bisa berpakaian. Setelah gaun ini kupasang di bahu, jemari Sasuke dengan cepat mengikat bagian belakang korset - sebuah keahlian baru yang dia miliki karena aku belum menemukan seorang pelayan. Sejujurnya, level keahlian Sasuke dalam mengikat pita gaun sudah sama dengan keahliannya melepas ikatan gaun. Setelah selesai, Sasuke langsung mengusap perutku.

Begitu syoknya hilang tadi malam, Sasuke langsung membawaku ke kamar dan membaringkan aku di tempat tidur. Selama berjam-jam sesudahnya, Sasuke memelukku sambil membelai perutku ini, meskipun belum ada bukti nyata dari kehamilanku.

Sasuke memutar tubuhku, lalu mengecup dahiku.

"Aku akan mencintai dan menyayangi anak kita, baik itu laki-laki atau perempuan," kata Sasuke sambil memandangiku. "Jujur aku tidak punya preferensi, meskipun seorang ahli waris laki-laki harus muncul pada akhirnya. Aku akan menyayangi semua anak kita, laki-laki atau pun perempuan. Tapi aku ... aku merasa, anak kita kali ini laki-laki. Aku yakin itu."

Alisku sedikit terangkat sambil memeriksa ekspresi Sasuke. Tidak ada yang dapat meragukan ketulusan ucapannya, aku penasaran kenapa Sasuke bisa begitu yakin. Kuharap dia tidak akan terlalu kecewa jika anak pertama kami adalah seorang perempuan. Kuulurkan tangan untuk mengelus pipinya dan Sasuke menoleh untuk mengecup tanganku. Tatapan mata suamiku berubah serius dan gelap penuh dengan kekhawatiran. Sasuke menangkup wajahku, lalu membungkuk untuk mencium bibirku lama-lama sembari aku memeluk lehernya. Ketika Sasuke memisahkan diri, masih ada kecemasan di matanya.

"Sasuke, apa yang mengganggu pikiranmu?"

"Tahukah kau betapa menggodanya sekarang," kata Sasuke lembut, jemarinya mengelus pipiku, "untuk menguncimu di menara tinggi, di mana tidak akan ada satu pun gangguan datang padamu? Aku harus menahan keinginan itu sekuat tenaga."

Mata Sasuke tertuju pada perutku sejenak, sebelum kembali menatapku.

"Meskipun Kastil Konohagakure tidak punya menara tinggi, tapi Kastil Tsurui memiliki menara seperti itu. Setidaknya, menara itu masih ada sebelum Orochimaru menghancurkannya. Mungkin ini yang terbaik - bukan aku lagi yang jadi Pimpinan Tsurui - karena kalau masih aku, aku pasti akan memanfaatkannya."

Kujilati bibir ini, mencicipi rasa yang Sasuke tinggalkan di sana. Kurenungkan ucapan Sasuke, dan dalam hati bertanya apa dia sungguh bermaksud seperti itu. Tapi dari sorot mata Sasuke, sepertinya dia sangat serius. Aku bergidik membayangkan tinggal di menara tinggi, jadi aku berusaha mengalihkan perhatian Sasuke.

"Apa ada yang pernah tinggal di sana?" tanyaku.

"Di situlah penjaga kami - mentorku - tinggal," tegas Sasuke. "Mereka yang mengkhianati keluargaku."

Tangan Sasuke kembali berpindah ke perutku, dan aku ikut menutupi tangannya dengan tanganku sendiri.

"Aku mencintaimu, Sakura."

"Aku mencintaimu, Sasuke," sahutku.

Sasuke tersenyum sambil meraih tanganku, lalu kami turun untuk sarapan dan kemudian ke lapangan tempat pasukannya latihan. Aku menjahit di pinggir lapangan dan menghabiskan sebagian besar waktu membuat baju untuk suamiku dari kain sutra berwarna cokelat yang dibelinya untukku ketika kami baru menikah. Sasuke membeli begitu banyak kain, kapan kain ini akan habis? Kemudian aku teringat dengan kehamilanku. Aku tersenyum saat mengangkat kemeja Sasuke. Akan kubuat baju yang sama dengan ukuran yang jauh lebih kecil.

Requiem for a DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang