DISAPPARATE

2.5K 167 0
                                    

CHAPTER 4
DISAPPARATE


Ben mengerang kesal saat dia merasakan seseorang mengguncang bahunya, membangunkannya dari tidur singkatnya yang seperti baru berlangsung lima menit. Padahal kenyataannya, dia sudah terlelap selama hampir satu jam.

Laki-laki itu perlahan membuka kedua matanya. Dilihatnya Kara yang berada di sampingnya tengah melepas sabuk pengaman dan mematikan mesin mobil. Seketika dia teringat bahwa dia masih berada dalam mobil Kara yang kini sudah terparkir di depan Magnolia.

Selama sisa perjalanan menuju toko roti milik Kara, Ben memutuskan untuk memejamkan mata. Kemacetan yang mereka temui selepas keluar dari area tol digunakan laki-laki itu untuk terlelap barang sejenak. Dia mengeluh bahwa dirinya tidak bisa tidur selama berada dalam pesawat. Guncangan yang terjadi lebih dari satu kali dalam pesawat karena pengaruh cuaca membuat dirinya was-was dan tidak bisa beristirahat. Beruntung akhirnya maskapai yang dia tumpangi bisa mendarat dengan selamat di Jakarta.

Setelah berhasil mengumpulkan nyawanya, laki-laki itu segera bergerak keluar dari mobil, meninggalkan Kara yang terlihat sibuk mengobrol dengan seseorang melalui ponsel. Sepertinya perempuan itu tengah berbicara dengan pemasok bahan baku tokonya karena Ben sempat mendengar Kara menyebut kata self-rising flour, couverture chocolate, juga marmalade.

Dengan langkah-langkah kakinya yang lebar, Ben berjalan menuju bangunan bercat peach di hadapannya. Didorongnya pintu kaca toko itu, dan dia seketika tersenyum saat aroma manis yang memenuhi ruangan menyusup ke rongga hidungnya.

"Hai, Rani," sapa Ben pada perempuan bertubuh mungil yang tengah sibuk menata cream cheese bun pada nampan yang ada di atas rak.

Rani yang mendengar sapaan itu seketika menghentikan aktivitasnya. Senyuman lebar seketika tersungging dari bibirnya begitu dia melihat sosok laki-laki jangkung dengan rambut cokelat terang sudah berdiri di depan salah satu etalase. Meski ada sedikit kelelahan yang tergambar dalam wajahnya, penampilan Ben masih saja bisa menarik perhatian siapa pun.

Siapa coba yang bisa mengelakkan pandangannya dari sosok bertungkai panjang, bertulang pipi tinggi, beralis tebal, serta memiliki sorot mata yang dalam seperti Ben? Terlebih, laki-laki itu hampir selalu menyunggingkan senyum seribu megawatt-nya pada siapa pun orang yang dia temui. Perpaduan antara penampilan fisik dan kepribadiannya yang sangat mudah bergaul membuat dirinya serupa magnet yang bisa menarik siapa saja mendekat ke arahnya.

"Mas Ben!" sapa Rani dengan nada riang yang tidak dapat dia sembunyikan. "Kirain setelah banyak diomongin orang se-Indonesia, Mas Ben nggak mau mampir ke sini lagi."

"Gue? Nggak mampir ke sini lagi? Terus kehilangan kesempatan buat makan cake dan roti sepuasnya tanpa bayar? Non sense!" sahut Ben sambil mengibaskan telapak tangannya.

"Ya ampun, Mas. Masa udah terkenal masih mau barang gratisan aja," komentar Rani sambil geleng-geleng kepala.

"I'm a sucker for free stuff. Nggak ada hubungannya sama terkenal atau nggak, Rani. Besides..." Ben mengambil jeda sambil melangkahkan kakinya mendekat ke arah Rani. "Kalau gue nggak ke sini lagi, gimana caranya gue bisa ketemu sama lo?"

Dari kalimat dan nada bicaranya, laki-laki itu terang-terangan tengah menggoda Rani. Kalau saja perempuan bertubuh mungil itu tidak mengenal Ben dengan baik, sudah pasti dia akan salah tingkah dan merona dibuatnya. Dan percayalah, Rani pernah menunjukkan reaksi yang demikian saat pertama kali dia mengenal Ben. Tapi sekarang, saat dirinya sudah kebal dan tahu betul bahwa laki-laki itu memang senang bercanda dengan menggoda orang lain, Rani hanya terkikik saja saat mendengar ucapan Ben.

WRAPPED AROUND YOUR FINGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang