Seorang pria berusia sekira lima puluh lima tahunan tengah terbujur tidak berdaya dengan berbagai alat bantu medis yang tertancap erat di seluruh tubuhnya. Bunyi alat pendeteksi detak jantungpun seolah menjadi alunan mengerikan di sudut ruangan bagi ketiga sosok remaja tanggung di depannya.
Tampak kedua remaja yang saling berpelukan itu tidak dapat menahan tangisnya yang semakin menjadi tatkala keduanya mengingat dengan jelas setiap kata yang keluar dari bibir dokter yang menangani ayah mereka. Ya, ketiga remaja yang duduk saling berhimpitan itu merupakan anak dari sang lelaki yang tengah berada diambang hidup dan mati di depannya.
Sebuah pemandangan yang miris manakala saat Raya Velda Ramadhani, gadis dengan seragam putih abu-abunya yang baru hari ini masuk sekolah setelah diterima di SMA favoritnya justru meninggalkan Masa Orientasi Siswanya untuk pergi ke tempat sang ayah berada.
Sementara di sampingnya tampak gadis muda sekira berusia empat tahun di atas Raya hanya menangis tersedu dipelukannya. Safira Hasnah Putri, namanya. Gadis dengan dress bermotif polkadot itu tampak begitu terpukul dibandingkan Raya. Sesekali ia mengelus pelan perutnya yang sedikit berisi. "Aku takut kehilangan ayah, Ray. Semua ini gara-gara kita. Kalo aja kita nggak menyembunyikan ini semua dari Ayah, Ayah nggak akan kena serangan jantung kayak gitu. Aku takut, Ray. Hiks... Hiks.." Fira menangis seraya bergumam dipelukan Raya.
Meskipun Fira lebih tua dari Raya namun pola berpikir Raya jauh lebih matang dibanding kakaknya itu. Mungkin karena Fira sudah terbiasa dimanjakan oleh Benny Hariadi Pratama, ayah mereka, makanya gadis itu tidak mampu untuk bersikap dewasa mengikuti usianya yang bertambah.
Berbanding terbalik dengan Raya, gadis dengan wajah natural khas orang Indonesia itu sudah mandiri dan terbiasa untuk bertanggung jawab akan dirinya sendiri, menjadikan ia seorang yang berpikiran matang dan penuh pertimbangan untuk melakukan segala sesuatunya.
"Ayah nggak bakalan kenapa-napa, Kak. Kita berdoa aja semoga Ayah cepet sadar dan balik ke rumah sama kita lagi. Udah, jangan nangis, pikirin bayi yang ada di dalam kandungan kakak, dia masih butuh Mamanya untuk tumbuh dan lahir sehat," ucap Raya seraya mengelus pelan punggung kakaknya yang bergetar sedari tadi. Sejujurnya Raya juga tidak setegar kelihatannya. Ia menangis di dalam hati meskipun air matanya tidak menetes setetespun. Baginya, Ayahnya tidak membutuhkan tangisan kesedihan mereka. Lelaki yang tengah berbaring itu lebih membutuhkan dukungan berupa doa agar ia bisa melewati masa kritisnya untuk kembali pada ketiganya.
Sementara kedua adiknya yang saling berpelukan itu menciptakan suasana haru biru, sosok lelaki berusia dua puluh dua tahun itu tampak menatap tubuh rapuh ayahnya dengan pandangan menerawang jauh. Sesekali emosi marah melingkupi hatinya hingga alisnya berkedut dengan mata memerah. Ya, lelaki berkaus hitam dengan celana denim selutut itu adalah Gio Pangeran Pratama, anak tertua Benny yang entah bagaimana hingga usianya menjelang dua puluh tiga tahun, pendidikan strata satunya yang seharusnya sudah selesai sejak dua tahun yang lalu itu belum juga usai hingga saat ini.
Gio menghela napas berat, diliriknya Fira dan Raya yang sepertinya sudah mulai tenang. Ia yang lelah bekerja untuk membantu Ayahnya menghidupi adik-adiknya berusaha untuk tetap terlihat kuat di depan mereka. Karena bagaimanapun, sebagai abang, ia memiliki tanggung jawab menggantikan peran Ayahnya untuk menjaga perempuan-perempuan cantik di sampingnya itu agar tidak hidup berkekurangan. Sebuah tugas berat yang dipikulnya karena selama Ayahnya sehat, ia hanya bisa meminta dan menghambur-hamburkan uang Ayahnya.
"Kalian cari makan aja dulu. Biar gue yang jaga Ayah." Suara Gio terdengar jelas di ruangan yang sunyi itu, menjadikan kedua pasang mata yang tadinya sibuk menenangkan diri berpindah menatap ke arahnya.
"Menurut abang kita bisa makan di situasi kayak gini?" tanya Raya menjawab ucapan Gio dengan sedikit nada sinis di dalamnya. Ia menatap tajam Gio hingga lelaki yang berniat baik menawarkan diri untuk menjaga Ayah mereka itupun terdiam.
"Serah lo deh. Masih untung gue nawarin makan, malah ditolak. Lo pikir Ayah bakalan seneng gitu lihat lo kelaperan? Nggak usah ngeles, perut lo berisik banget dari tadi," balas Gio sembari duduk bersandar di sofa dan memejamkan matanya sejenak. Ia berusaha mengabaikan sikap sinis Raya padanya. Bagi Gio, ia memang pantas untuk disinisi karena tingkahnya yang tidak jauh berbeda dengan wanita itu.
"Udah, Ray. Jangan kayak gitu. Jangan sampai Ayah semakin kecewa sama kita hanya gara-gara berantem karena masalah sepele. Ya?" Fira berusaha menenangkan adiknya yang memang lebih sensitif perasaannya diantara ketiganya. Dielusnya perlahan bahu Raya dengan lembut yang hanya dibalas raut datar gadis berambut panjang itu tanpa menjawab apapun lagi.
Fira membenarkan posisi duduknya yang tidak nyaman. Disandarkannya punggung dan pinggangnya yang terasa nyeri dan ditariknya tangan Raya untuk ia genggam di atas perutnya yang mulai membesar. Ia tidak ingin perasaan sendirian kembali memenuhi hatinya hingga kesalahan yang pernah ia lakukan dengan bodohnya ia ulangi lagi.
Fira menghembuskan napasnya berat. Lalu saat ia mencoba ingin menyusul Gio untuk tidur sejenak, sebuah ketukan di pintu kamar rawat Benny menyentakkan kesadarannya. Rasa kantuknya perlahan menghilang ketika Raya yang bergerak untuk membukakan pintu menarik kembali tangan yang sempat digenggamnya.
"Siapa, Ray? Perasaan kita belum ngasih tahu siapa-siapa tentang keadaan Ayah deh." Fira berbisik sembari menatap takut pintu berwarna cokelat dengan kaca buram di atasnya. Sejak ia hamil dan dicampakkan Gesha, ia sering ketakutan tanpa sebab saat tengah sendiri atau berada di tempat asing. Ia takut jika Gesha yang membencinya karena lebih memilih mempertahankan janin yang dikandungnya, memiliki rencana untuk mencelakakan dirinya dan calon bayinya.
"Nggak papa, Kak. Biar Raya yang buka. Kakak tidur lagi aja. Kayaknya suster yang mau meriksa Ayah deh." Raya tersenyum sekilas seraya berdiri dari tempat duduknya yang persis berada di samping Fira. Gadis dengan seragam yang masih baru itu berjalan perlahan untuk membuka pintu kamar rawat Benny.
Dan betapa kagetnya ia saat di depan matanya ia melihat wanita yang paling tidak ingin ia lihat sekarang dan selamanya tengah berdiri dengan wajah angkuh melirik pada brankar tempat Ayahnya tengah berbaring.
"Mau apa anda kemari? Belum cukup anda menyakiti Ayah kami?" tanya Raya sarkastik. Ia yang berdiri dengan tangan yang masih memegang handle pintu segera menutup sebagian celah pintu itu untuk mencegah wanita di depannya yang berusaha mencari tahu tentang apa yang ada di dalam ruangan berfasilitas standar itu.
"Jangan kurang ajar kamu! Kamu..."
"Siapa yang kurang ajar? Apa yang anda maksud itu kami?" sebuah suara memotong ucapan wanita berambut blonde di depannya. Sebuah gaya rambut yang tidak pantas untuk usianya yang berkepala empat.
"Bunda tidak pernah mengajari kalian berbuat kurang ajar seperti ini. Bagaimanapun kesalahan Bunda, kalian tetap anak-anak yang lahir dari rahim Bunda. Bunda hanya ingin melihat Ayah kalian. Jadi tolong minggir dan beri Bunda jalan," ucap Meisye, wanita berambut blonde dengan make up berlebih layaknya ondel-ondel di depan Gio dan Raya dengan wajah angkuhnya.
*****
A/N
Pengen bikin story serius dikit yang nggak ada adegan ketawa ketiwinya..
Semoga bisa, amiin..Ok, see you,.
Salam,
Vio-ivi
Cirebon, 24 Juli 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Happy Family [Completed]
General FictionDi usia yang memasuki masa senjanya, Benny Hariadi Pratama harus mendapati kenyataan bahwa keluarganya perlahan hancur berantakan. Anak-anaknya yang baik mendadak berubah jauh dari harapannya. Gio anak pertama yang seharusnya jadi panutan adik-adik...