"Maaf. Aku minta maaf soal itu, Mei. Aku..."
"Nggak perlu kamu minta maaf, Mas. Semuanya udah masa lalu. Lebih baik kamu jujur, apa alasan yang sebenarnya dibalik permintaan kamu menjual rumah kita?" potong Meisye lagi. Ia menatap lurus, tepat ke dalam manik mata Benny.
"Tidak ada alasan lain, Mei. Aku hanya ingin Fira nyaman dengan kondisinya sekarang. Meskipun perbuatannya salah, tapi anak yang dikandungnya tidak bersalah. Dia harus tumbuh sehat. Dan ketenangan Fira menjadi kunci untuk menumbuh sehatkan anaknya. Aku harap kamu bisa mengerti, Mei."
Meisye mendengus lelah. Ia berpikir sejenak sebelum berkata, "oke, aku setuju. Tapi aku mau ada bagian buatku, Mas. Bagaimanapun, bapak yang membelikan tanah rumah itu."
Benny mengangguk seraya tersenyum dengan bibir pucatnya. "Terimakasih, Mei. Nanti setelah terjual, kita bagi rata."
*****
Meisye melangkahkan kakinya perlahan memasuki kamar pribadinya di apartemen Robby. Dengan masih berpakaian yang sama seperti saat menemui Benny tadi, ia melenggang ke arah ranjangnya dan menemukan Robby yang tengah berbaring tertelungkup dengan setelan kerjanya yang masih lengkap bersama sepatu yang tergantung di kedua kakinya.
Meisye mengernyit heran. Tidak biasanya Robby tidur di apartemen di saat jam makan siang seperti ini. Mas Robby sakit?
"Mas, Mas? Mas Robby?" Meisye memanggil nama Robby sambil menepuk lengan pria itu pelan. Ia meletakkan telapak tangannya ke atas dahi Robby--mengecek suhu tubuhnya.
Robby mendongak perlahan. Menatap sekilas siapa gerangan yang tengah mengganggu tidurnya. Lalu saat wajah Meisye yang nampak khawatir menyambutnya, ia membalikkan tubuh namun tetap memejamkan kedua matanya rapat. "Kamu udah pulang, Yang?" sapanya seraya mengucek pelan kelopak matanya. "Gimana keadaan Benny?"
"Mas lagi nggak enak badan? Kok udah pulang jam segini?" Meisye bertanya balik. Ia menarik tangannya dari dahi Robby dan mengikuti pria bersetelan formal itu berbaring tanpa berganti pakaian seperti biasanya. Diraihnya lengan kanan Robby dan direntangkannya hingga ia bisa tidur di atas lengan prianya itu dan memeluknya dari samping.
"Nggak, lagi nggak pengen ngantor aja. Pengennya terus nemenin kamu di sini," goda Robby mengundang tawa diantara keduanya. Tampak gurat kebahagiaan terpancar begitu jelas di wajah Meisye. Berbeda dengan Robby yang seolah menyimpan sesuatu di dalam hatinya.
"Gombal!" seru Meisye dengan tersenyum malu-malu. Ia mendekatkan tubuhnya semakin erat ke tubuh Robby, menyembunyikan wajahnya yang tersipu. Lalu saat keheningan mulai mengambil alih suasana di sekitarnya, Meisye menengadahkan wajahnya. Ia menatap wajah Robby intens, dan mulai menyadari satu hal."Mas kenapa? Aku ngerasa Mas lagi menyembunyikan sesuatu dari aku," ucap Meisye saat tersadar ada yang berbeda dari cara Robby memandang langit-langit kamar mereka. Ia cukup mengenal pria yang tengah dipeluknya itu, hingga tanpa Robby ceritapun, ia sudah tahu jika prianya itu tengah menyembunyikan sesuatu. Meski berpuluh tahun tidak pernah bertemu, ia masih hapal benar bagaimana Robby bersikap jika tengah mengadapi suatu masalah.
"Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu, Yang? Nggak ada kok, nggak ada yang aku sembunyikan dari kamu."
"Jangan bohong, Mas. Aku terlalu mengenal kamu. Kamu kalo ada yang dipikirin selalu memilih tidur dibanding beraktivitas. Sebenarnya apa..."
"Sudahlah, Mei. Kamu terlalu berpikir terlalu jauh. Aku ngantuk. Lebih baik kamu juga tidur kalau nggak ada yang mau kamu lakuin." Robby mengangkat lengannya, mengambil bantal untuk dijadikan ganti bantalan kepala Meisye. Lalu tanpa berkata apapun lagi, ia merebahkan tubuhnya kembali seraya memunggungi Meisye yang menatap Robby dengan tatapan tidak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Happy Family [Completed]
General FictionDi usia yang memasuki masa senjanya, Benny Hariadi Pratama harus mendapati kenyataan bahwa keluarganya perlahan hancur berantakan. Anak-anaknya yang baik mendadak berubah jauh dari harapannya. Gio anak pertama yang seharusnya jadi panutan adik-adik...