Meisye meletakkan ponsel miliknya setelah mengirim pesan pada Robby jika sore nanti ia mengiyakan ajakan kekasih gelapnya itu untuk makan malam bersama. Sudah lama rasanya ia tidak berjumpa dengan pria pujaannya itu sejak dirinya disidang para gadis kesayangan Benny dan menjalankan peran pura-pura menjadi korban dengan tetap anteng berada di rumah untuk menunjukkan bahwa tuduhan yang Fira dan Raya katakan hanya fitnah belaka.
Sebenarnya bisa saja ia tetap menemui Robby dengan alasan arisan atau pengajian seperti sebelum-sebelumnya. Namun Meisye tidak mau menanggung resiko--membuat Benny curiga. Cukuplah dengan ia mengurai intensitas pertemuannya dengan Robby, dan hanya bertukar pesan atau saling bertelepon saja-lah untuk mengobati rasa rindunya.
Baru saja Meisye akan mengelupas masker yang tengah dipakainya, saat ia mendengar suara ribut-ribut di depan pintu kamarnya. Ia berjalan perlahan untuk mendengarkan kedua anak gadisnya yang memang tengah berada di rumah sedang mendebatkan sesuatu. Sayang, ia tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang diributkan keduanya. "Anak-anak ini! Nggak bisa apa nggak ribut barang sehari aja?" gerutunya pelan. Ia membuka pintu kamar pribadinya seraya berkata, "ada apa ini?"
Dilihatnya dua gadis di depannya itu tengah saling berhimpit dengan tatapan seolah tengah melihat dirinya seperti hantu. Ah, maskerku ternyata. Batin Meisye pelan, merasa lucu karena kedua anaknya menyangka jika yang berdiri di depan mereka adalah hantu. "Ini Bunda, bukan hantu," lanjut Meisye sembari terkekeh. Ia melepas masker beraroma avocado seraya melemparkan senyum manisnya pada Raya dan Fira.
Fira dan Raya saling berpandangan. Keduanya lalu kompak tertawa terbahak-bahak menertawakan kebodohan entah milik siapa. Sejujurnya, baik Fira maupun Raya bukan terkejut akan aksi 'horor' Meisye. Keduanya justru terkejut karena takut Meisye mendengar pembicaraan mereka yang tengah menyebut-nyebut bukti yang berada di tangan mereka. Bisa saja jika Ibu Penyihir di depan mereka itu menggunakan kelicikannya kembali saat tahu akan misi rahasia mereka.
"Lah, siapa juga yang kaget gegara masker? Dikira kita anak kelas lima SD apa, pake acara takut sama orang yang lagi maskeran?" Raya tertawa mengejek. Ia lalu melanjutkan, "Ahh, enak sih ya nggak ngapa-ngapain, kerjaannya cuma maskeran doang, sementara yang lainnya kerja, banting tulang, masak, beberes, ngurus ini-itu, dianya malah maskeran," sindir Raya dengan seringai tajam.
"Oh, Bunda kira kalian takut karena masker ini." Meisye masih memperlihatkan senyum manisnya. Sayang, di detik berikutnya, ia kembali menambahkan, "lalu, untuk apa kalian berdiri dan membuat keributan di sini? Kalian mau membuat drama lagi? Nggak akan bisa. Ayah kalian nggak akan pernah percaya sama kalian selagi kalian nggak memiliki bukti."
"Kata siapa kita nggak punya bukti. Kita..."
"Udah, nggak usah diladenin Ray. Kita makan bakso yuk. Aku laper, nih," potong Fira cepat. Meninggalkan Raya yang hanya bisa menggeram marah dengan mencengkeram ponsel milik kakaknya yang masih ia pegang.
"Kakak!" erang Raya pelan sembari memelototi Fira, namun tetap mengikuti langkah kaki Fira yang menyeretnya hingga pintu rumah tanpa memprotes lagi. Meski dalam hati amarahnya semakin memuncak, namun ia tidak bisa berbuat apapun. Karena menurutnya apa yang dikatakan Fira beberapa saat yang lalu sepenuhnya benar adanya. Mereka tidak boleh gegabah.
Sementara Fira dan Raya melimpir begitu saja dari pandangannya, Meisye masih bingung mencerna kalimat yang sempat ingin diutarakan Raya. Raya mau ngomong apa ya? Mereka punya bukti? Batin Meisye bertanya-tanya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, menepis kemungkinan yang menurutnya tidak akan pernah terjadi itu. Meski kalaupun terjadi, ia sudah menyiapkan diri untuk meninggalkan keluarga Benny dan menikah dengan Robby yang sebentar lagi akan menceraikan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Happy Family [Completed]
Художественная прозаDi usia yang memasuki masa senjanya, Benny Hariadi Pratama harus mendapati kenyataan bahwa keluarganya perlahan hancur berantakan. Anak-anaknya yang baik mendadak berubah jauh dari harapannya. Gio anak pertama yang seharusnya jadi panutan adik-adik...