Dimulainya Perang Dingin

2.3K 162 12
                                    

Benny menghampiri Raya yang masih menggunakan selimut rapat untuk menutupi wajahnya yang jauh dari kata baik. Gadis berselimut motif doraemon itu sedari tadi sore tidak juga keluar dari kamarnya, membuat sang Ayah yang heran akan perilaku Raya yang tidak biasa menjadi sedikit cemas.

"Raya? Bangun dulu, Nak. Makan dulu kalau memang kamu sedang halangan." Benny mendudukkan tubuhnya di samping Raya yang tidur membelakangi dirinya. Dielusnya pelan rambut bergelombang alami yang dimiliki anak bungsunya itu. Tadinya Fira sudah membangunkan Raya untuk sholat berjamaah seperti biasanya. Namun gadis kecilnya itu berkata jika ia tengah berhalangan, dalam artian Raya sedang kedatangan tamu bulanannya. Karena tidak ingin mengganggu Raya yang sensitif, Fira pun mengadukan tingkah aneh adiknya itu pada Benny.

"Raya?" panggil Benny lagi. Ia mendengus kasar karena Raya sepertinya tidak ingin diganggu. Benny merasa jika gadis kecilnya itu seolah menghindari percakapan dengan siapapun di rumahnya. Dilihatnya Raya yang sebenarnya terjaga, namun enggan membuka matanya, terbukti dari pergerakan bola matanya yang meskipun tertutup kelopaknya, salah satu organ penglihatan itu bergerak-gerak, menunjukkan jika si empunya mata hanya berpura-pura tidur.

"Yasudah kalau kamu tidak mau membuka matamu, Ray. Tapi Ayah minta, jangan sampai lupa makan ya? Bicaralah, cerita sama Ayah, kenapa Raya bisa seperti ini? Apa Ayah punya salah sama kamu, Nak? Atau ada yang mengganggu pikiranmu hingga kamu mengurung diri dan berpura-pura tidur seperti ini?" tanya Benny seperti bertanya pada udara kosong. Ia hanya menatap sendu pada anaknya yang masih saja bersikeras untuk berdiam diri.

Dengan menghembuskan napasnya berat, Benny pun berkata, "Ayah pergi kalau begitu. Istirahatlah. Nanti kalau lapar, jangan sungkan buat keluar dan makan."

Mungkin benar apa kata Meisye tadi, jika Raya membutuhkan waktu sendiri. Sepertinya gadis itu mengalami sesuatu yang berat, mengingat hari ini Raya mengikuti lomba cerdas cermat se-wilayah kota mereka. Mungkin tadi ada hal yang tidak mengenakkan terjadi di acara itu hingga berimbas pada mood Raya yang buruk. Sebuah kebiasaan yang entah mengapa sudah melekat erat pada diri Raya, dimana Raya selalu membuat segala sesuatunya menjadi rumit saat apa yang dihadapinya tidak sesuai dengan keinginan hatinya sendiri.

Mungkin kelompok Raya tidak menang dalam pertandingan tadi. Batin Benny menerka. Ia memutuskan berdiri dan beranjak dari kasur yang sempat di dudukinya baru saja.

"Ayah..." panggil Raya lirih, saat dirasanya lelaki pertama yang ia cintai seumur hidupnya itu berdiri perlahan, meninggalkan suara berdecit pada ranjang yang sempat menjadi tempat singgah Benny.

Gadis dengan mata sembab dan manik mata memancarkan kesedihan itu perlahan bergerak duduk, membuat Benny yang tadinya akan meninggalkan kamar Raya menghentikan langkahnya.

Pria itu tersenyum. Ia berjalan menghampiri Raya kembali. "Ya, Ray? Kamu membutuhkan sesuatu?" tanyanya lagi.

"Raya pengen dipeluk Ayah."

Ucapan Raya semakin membuat Benny terheran. Namun tanpa berkata-kata, ia merentangkan kedua tangannya yang langsung disambut dengan pelukan Raya yang erat di dadanya. Diusapnya pelan punggung berisi anak bungsunya itu dan dibisikinya lembut, "semua pasti akan baik-baik saja, Nak. Ayah selalu bersamamu. Ceritalah, dengan begitu masalah yang kamu hadapi akan terasa lebih mudah diselesaikan. Ada apa denganmu, Raya?"

Raya menyerukkan kepalanya ke dalam dekapan sang Ayah. Ia membutuhkan kekuatan ayahnya untuk kali ini. Dadanya yang sesak karena menyembunyikan rahasia yang dapat menyakiti Ayahnya membuat matanya kembali berkaca-kaca.

"Apa Ayah mencintai Bunda?"

"Hm? Tentu saja cinta. Memangnya kenapa? Kamu sedang ada masalah dengan teman kamu?" tebak Benny asal, yang hanya dijawab dengan gelengan pelan Raya di dekapannya.

(Un)Happy Family [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang