Gio menatap pantulan dirinya pada dinding metal lift yang tengah membawanya kembali ke lobi apartemen. Ia menundukkan kepalanya yang seakan mau pecah. Ia sungguh tidak mengerti akan takdir yang seolah-olah mempermainkan hidupnya hingga bisa sehancur ini. Keluarganya berantakan, dan mantan kekasihnya akan menjadi adik tirinya jika Meisye benar-benar menikahi Robby.
Kenapa bisa seperti ini, Tuhan? Batin Gio pasrah. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding lift dengan kaki yang ditekuk sebelah, menahan bobot tubuhnya yang menancap ke dinding berwarna keabuan itu. Ia tersenyum miris. Bayangan akan Tiwi yang sama terlukanya dengan dirinya dan adik-adiknya--beberapa bulan lalu--membuat hati kecilnya ikut teriris.
Gio tidak menyangkal jika Tiwi masih menjadi pusat dari hatinya. Gadis dengan tutur lembutnya namun mampu membuat Gio hancur berkeping-keping di pertemuan terakhir mereka dulu itu sedikit banyak menyumbangkan kerusakan pada diri Gio sendiri. Alasan karena ditinggalkan oleh orang yang benar-benar ia cintai membuat Gio marah dan secara sadar menjerumuskan dirinya sendiri pada kehidupan yang kurang lebih sama seperti mereka. Pemain perasaan orang lain.
Ting. Gio berdiri tegak dan melangkahkan kakinya menuju pintu keluar apartemen. Meski ia tidak pernah berharap jika hidup seolah mempermainkan kehidupannya seperti ini, namun ia tetap bersyukur akan satu hal, dimana ia mengenal satu orang yang tak akan pernah menjadi seperti dirinya dan orang-orang itu. Setidaknya masih ada seseorang yang memiliki cinta tulus yang rela berkorban, mengikhlaskan orang yang dicintainya untuk bersama dengan orang lain. Sesuatu yang langka dan sulit diterima oleh akal sehat para pemain seperti dirinya.
*****
Fira bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ia dilanda ketakutan yang sangat. Lalu saat napasnya mulai memendek, sebuah tangan mengguncang tubuh gemetar dan rapuh itu.
"Kakak! Bangun!" Raya mengguncang tubuh Fira yang kemudian membangunkan kakak keduanya itu. Untuk kesekian kalinya Raya terbangun di tengah malam karena Fira yang tengah mimpi buruk. Entah apa yang sedang kakaknya pikirkan, namun Raya yakin, Fira seperti itu sejak dirinya mendapatkan teror bangkai tikus terburai beberapa waktu yang lalu.
"Kakak mimpi buruk lagi?" tanya Raya sembari mengulurkan gelas berisi air pada Fira.
"Iya. Maaf ya bikin kamu terbangun lagi," jawab Fira yang meraih gelas air mineral dari tangan Raya dan meneguknya hingga tandas. Ia menyeka perlahan keringat dingin yang menghiasi dahinya. Bayangan akan mimpi yang terus berulang-ulang layaknya sebuah video yang diputar, membuat alam bawah sadar Fira merespon dengan sendirinya. Berawal dengan hari itu, hingga teror yang ia dapatkan setiap harinya.
Fira memang tidak pernah menceritakan bagaimana 'Gesha' menerornya, meski tidak sefrontal saat pertama kali dirinya dikirimi paket tempo hari, namun tetap saja pesan-pesan yang dikirimkan nomor misterius itu menghantui hidupnya.
"Kakak kenapa sih? Jangan dipikirin lagi, Kak. Tokh cuma tempo hari doang kan cowok brengsek itu meneror Kakak? Kasihan janin di perut Kakak. Kalo Kakak setres, janinnya ikut setres loh, Kak."
"Ah, kamu nih, nakut-nakutin aku aja," timpal Fira sembari menyunggingkan senyum di bibirnya yang pucat.
"Ih, Kakak nih, nggak percaya." Raya berpura-pura merajuk. Ia mengambil gelas yang masih dipegang Fira dan meletakkannya begitu saja di samping ranjang.
Ceklek. Pintu kamar kedua anak gadis Benny terbuka. Menampilkan sosok pria paruh baya yang mengernyit bingung melihat anak-anaknya di jam tengah malam seperti itu masih sempat bercanda hingga terdengar olehnya saat melalui kamar mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Happy Family [Completed]
General FictionDi usia yang memasuki masa senjanya, Benny Hariadi Pratama harus mendapati kenyataan bahwa keluarganya perlahan hancur berantakan. Anak-anaknya yang baik mendadak berubah jauh dari harapannya. Gio anak pertama yang seharusnya jadi panutan adik-adik...