Flashback On
"Boleh Ayah minta bantuan kamu, Gio?" sapa Benny tatkala dilihatnya anak lelaki satu-satunya itu tengah terkekeh pelan menonton video di ponselnya. Sejak kepergian Meisye dari rumah, Gio memang sudah kembali lagi ke rumah mereka. Entah Benny harus bersyukur atau bersedih. Di satu sisi ia mendapatkan anaknya kembali, namun di sisi lain ia harus kehilangan Meisye, istrinya.
Gio mengalihkan tatapan matanya dari ponsel miliknya ke arah Benny yang menghempaskan bokongnya duduk di sofa depan televisi, sama sepertinya. Ia meletakkan benda pipih berteknologi itu dan menjawab, "ada apa, Yah? Kalo Gio bisa, pasti Gio bantu. Ayah kayak sama siapa aja pakai minta bantuan segala."
Benny terkekeh pelan menanggapi godaan Gio. Ia lalu mengambil remote televisi di atas sofa yang didudukinya dan mengecilkan volume layar yang tengah menampilkan acara permak rumah bagi kalangan masyarakat kurang mampu. Benny memperbaiki letak duduknya dan mulai bersuara, "Ayah ingin kamu mengantarkan surat gugatan perceraian Ayah ke alamat Bundamu."
Gio mengernyit. Ia seakan lupa dengan permasalahan yang dihadapi Benny itu. Tadinya ia memang tak pernah menganggap kepergian Meisye sebagai sesuatu yang perlu dibesar-besarkan, mengingat ketiga anggota keluarga yang lainnya seolah biasa saja. Namun karena Benny sudah membahas Meisye lagi, mau tidak mau Gio pun mengingat semua perilaku buruk ibu kandungnya itu.
Kok gue bisa lupa sama masalah ini? Elah, kebanyakan kencan sih gue. Jadi belum ngasih pelajaran si pebinor itu. Batin Gio dengan pikiran kemana-mana.
"Gio? Apa kamu mendengarkan Ayah?" tanya Benny yang menepuk pundaknya pelan--membuyarkan lamunannya tentang strategi yang bisa dilakukannya untuk memberi pelajaran si Robby-robby itu.
"Ah, iya, Yah? Tadi Ayah bilang apa? Maaf Gio nggak denger tadi," jawab Gio tersenyum canggung.
"Ayah bilang, bisa tidak kamu mengirimkan surat gugatan cerai Ayah ke alamat Bundamu? Ayah tidak bisa mengantarkannya langsung. Takut menimbulkan rasa tidak enak diantara Bunda dan kekasih barunya."
"Ayah jadi menceraikan dia?"
"Dia yang kamu maksud itu juga wanita yang sudah melahirkan kamu dan adik-adikmu, Gi. Kamu harus tetap menghormatinya meskipun Ayah dan Bunda sudah memilih berjalan di jalan yang berbeda," potong Benny cepat. Ia tidak mengerti mengapa anak-anaknya bisa sebenci itu pada Bunda mereka sendiri. Terlepas dari kesalahan setitik yang dilakukannya, tidak seharusnya anak-anak membenci Meisye, bahkan menghujatnya sekasar itu. Karena memang Benny-lah yang bersalah. Kalau saja Benny bisa memberikan kebahagiaan dari awal, sudah tentu Meisye tidak akan kembali pada Robby. Namun apalah dayanya. Harta ia tak punya. Nafkah secara batinpun ia juga tidak mampu memberikannya. Entahlah. Mungkin memang benar ini jalan yang sudah digariskan Tuhan agar Meisye bisa mendapatkan kebahagiaannya. Meskipun dengan cara yang salah dan mengorbankan ketiga anak mereka hingga kebencian menyelimuti anak-anak tak berdosa itu.
"Iya-iya. Dia. Ogah Gio menyebut namanya. Bagi Gio, Fira dan Rara, dia udah mati, Yah," dengus Gio kesal. Ia menyandarkan punggungnya ke punggung sofa dengan keras. Tampak gurat-gurat kecewa dan sakit hati masih terpancar di wajah anak sulung Benny itu kala membahas hal yang berhubungan dengan Meisye.
"Jangan bicara seperti itu tentang Bundamu, Gi. Semua ini salah Ayah. Ayah yang tidak mampu memberikan kebahagiaan untuk Bundamu hingga Bunda lebih memilih pergi," ucap Benny menasehati Gio dengan suara tercekat. Ia menunduk sejenak, sekadar menghembuskan napasnya yang berat.
Gio menatap lekat sosok pria paruh baya di depannya itu dengan iba. Ia sangat mengerti bagaimana perasaan Benny saat ini. Dulu, sewaktu pacar pertama sekaligus cinta pertamanya yang membohongi dan mengkhianatinya dengan menjadikan dirinya hanya sebagai pria idaman lain, ia benar-benar hancur. Jadi sedikit banyak ia tahu kondisi hati Benny seperti apa. Dikhianati, ditinggal pergi, dan bahkan tidak dijadikan sebuah pilihan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Happy Family [Completed]
General FictionDi usia yang memasuki masa senjanya, Benny Hariadi Pratama harus mendapati kenyataan bahwa keluarganya perlahan hancur berantakan. Anak-anaknya yang baik mendadak berubah jauh dari harapannya. Gio anak pertama yang seharusnya jadi panutan adik-adik...