"Yang? Ponsel aku ketinggalan. Aku..."
Meisye menoleh menatap pada Robby yang melangkah terburu memasuki kamar mereka. Keduanya bersitatap. Meisye yang menatapnya dengan mata yang penuh dengan air mata dan tangan yang menggenggam benda yang dibutuhkan Robby, sementara pria pujaan hatinya itu tengah tergugup sembari mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Bahkan ucapannya yang hanya ingin memberitahu tujuannya datang kembali lagi ke apartemen mereka, tergantung begitu saja di udara.
"Kenapa? Apa ada yang salah, Yang? Kenapa kamu menangis?" tanyanya dengan langkah semakin mendekati Meisye, memangkas jarak diantara keduanya. Diraihnya tangan Meisye yang masih menggenggam erat ponsel miliknya dan digenggamnya lembut.
"Kenapa kamu bohongi aku lagi, Mas? Kenapa saat aku mulai percaya akan hubungan kita yang bisa kembali lagi, kamu justru membohongiku lagi, Mas?" Meisye menatap Robby dengan sorot mata terluka. Ia menepis keras tangan besar nan hangat yang sempat menggenggamnya beberapa detik yang lalu.
"Maksud kamu apa, Yang? Aku nggak ngerti."
"Kamu bilang kamu hanya menjemput dan menyelesaikan masalah kamu sama Dinda, tapi apa yang aku baca di pesan kamu ini?" Meisye mengacungkan ponsel Robby dan menggerakkannya ke kiri dan ke kanan. "Aku justru menemukan bukti kalo kamu sama Dinda mau keluar kota sama-sama!! Kamu masih tanya maksud aku? Ini maksud aku!" Braak!! Meisye melempar ponsel tak berdosa itu ke dinding di sampingnya hingga hancur tak berbentuk lagi.
Robby terperangah melihat perilaku Meisye yang keterlaluan. Tapi mengingat dirinya yang memang bersalah dalam hal ini, ia pun hanya bisa menghampiri Meisye yang menangis dan marah membabi buta di depannya. Wanita yang sudah ia cintai hingga duapuluh tahun lebih itu meraih benda di atas nakas dan membanting semuanya ke arahnya.
"Maafkan aku, Yang. Aku nggak bisa ngomong yang sebenarnya ke kamu. Aku takut hal seperti ini terjadi kalau kamu tahu," ucap Robby sembari menghindari lemparan barang-barang dari Meisye. "Dengarkan penjelasanku dulu, Yang. Sumpah,aku ke Malang sama Dinda, murni hanya untuk bertemu klien perusahaan. Bukan melakukan hal-hal yang ada di dalam pikiran kamu sekarang."
"Menurut kamu, aku bisa percaya begitu aja sama kamu? Nggak! Aku nggak percaya, Mas! Kamu jahat! Jahat!!" teriak Meisye tak terkendali hingga Robby menangkap kedua tangannya dan membalas, "Meisye tenang! Oke, oke! Aku turutin mau kamu. Aku nggak akan pergi ke malang berdua sama Dinda. Ya? Kamu tenang ya sekarang?" rayu Robby seraya melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Meisye. Ia beralih memeluk tubuh wanita di depannya itu dengan erat. "Maafkan aku, Yang. Aku nggak bermaksud membohongi kamu. Aku hanya ingin bercerai dengan Dinda secara baik-baik. Aku nggak mau perusahaanku yang juga membutuhkan Dinda harus guncang karena perceraianku sama dia. Aku harap kamu ngerti ya, Yang."
Meisye membalas pelukan Robby sama eratnya. Ia tidak mampu menjawab apapun manakala mendadak ia merasakan sakit yang tak tertahan di area bagian bawah perutnya. "Auh, aduh, sakit, Mas," ringisnya pelan dengan suara serak dan air mata yang belum mengering benar.
Robby melepaskan pelukannya, ia lalu bertanya, "apa yang sakit, Yang? Apa pelukanku menyakiti kamu?"
"Nggak apa-apa kok. Mungkin karena tamu bulananku belum selesai-selesai juga, makanya sakit." Meisye memegang perutnya dan memilih mundur--duduk di atas ranjangnya. "Oke, aku maafin kamu. Tapi inget, jangan pernah bohongi aku lagi, Mas. Aku bisa pergi meninggalkan kamu," ancamnya lagi.
"Iya, iya. Aku nggak jadi berangkat kalau begitu. Lagipula kamu sedang sakit. Aku temenin kamu saja di sini. Apa perlu kita ke dokter buat memeriksakan perut kamu, Yang?" tanya Robby dan duduk di samping Meisye begitu saja. Ia merengkuh pundak wanita simpanannya seraya mengecup pipinya pelan.
"Nggak perlu, Mas. Aku udah biasa kok kayak gini," jawab Meisye sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang, memberikan jarak tak kasat mata pada Robby yang hanya bisa tersenyum masam melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Happy Family [Completed]
General FictionDi usia yang memasuki masa senjanya, Benny Hariadi Pratama harus mendapati kenyataan bahwa keluarganya perlahan hancur berantakan. Anak-anaknya yang baik mendadak berubah jauh dari harapannya. Gio anak pertama yang seharusnya jadi panutan adik-adik...