Flashback On
Fajar sudah mulai menyingsing. Benny yang tergeletak di halaman depan rumahnya tampak tak ada seorang pun yang menyadarinya. Mungkin karena pagar rumah Benny yang tertutupi sebagian tanaman daun sirih membuat tetangga yang lalu lalang di depan rumahnya tidak menyadari keberadaan Benny.
Sementara Raya yang harus berangkat lebih awal berangkat ke sekolah barunya sudah menenteng tas dan aksesoris perpeloncoan yang dibuatnya tadi malam. Ia membuka pintu rumah dan matanya langsung terpaku pada sosok yang tergeletak di tengah halaman dengan mata terbelalak lebar.
"Ayah!!" teriaknya terkejut. Raya berlari dan membalikkan tubuh lemah itu dan menepuknya pelan. Memeriksa nadi dan mata Ayahnya yang yang tertutup rapat. Sungguh, melihat Ayahnya yang tidak sadarkan diri seperti ini membuat nyawa Raya seolah terlepas dari raganya.
"Kakak! Ayah, Kak! Ayah pingsan! Cepet pesen co-car!" teriak Raya masih berusaha memendam rasa paniknya. Dengan seragam putih abu-abunya ia mencoba mengangkat tubuh ayahnya. Sayang, bukannya terangkat, Raya justru ikut tersungkur hingga menindih tubuh Benny.
Bukan sekali dua kali Benny tak sadarkan diri seperti ini--mengingat penyakitnya yang diderita Benny semenjak beberapa tahun yang lalu itu, pria dengan tubuh masih berbalut baju koko dan sarung itu selalu pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit jika kondisinya lemah--seperti saat ini. Apalagi melihat kondisi tubuhnya yang dingin dan putih memucat. Raya seakan sadar jika Benny kemungkinan besar sudah lama berada dikondisi tidak sadarkan diri dan tergeletak di atas tanah yang dingin itu.
"Ayah?!" Fira berlari tergopoh masih dengan baju tidur bermotif keropi hijau dan mengabaikan kondisi dirinya yang tengah hamil. "Ayah kenapa, Ray? Kenapa jadi gini?" tanya Fira bertubi-tubi. Ia mengambil ponsel dari saku celananya dan mulai memesan taxi online seperti yang diperintahkan Raya.
Fira gugup. Beberapa kali ia hampir menjatuhkan ponsel miliknya. "Tenang Kak, jangan panik," ucap Raya berusaha menenangkan. Ia meraih tangan Fira pelan dan menatap intens manik mata Fira yang berlinang air mata. Gadis dengan seragam putih abu-abu yang masih baru itu berusaha tetap tenang. Meski hatinya sama cemasnya dengan Fira, namun pantang bagi Raya menangis di depan kakaknya yang terlalu rapuh itu. Ia tidak ingin semakin memperkeruh suasana di situasi yang darurat seperti ini dengan bertindak konyol karena kepanikannya.
Belum sempat Fira mengiyakan ucapan Raya, hidung Fira yang sensitif mencium bau busuk di sekitarnya. Lalu saat manik matanya bersibobrok dengan isi kotak putih yang kini dikerubungi lalat di samping Benny, seketika rasa mualnya tak terhindarkan.
Fira menjauh dari tempat Benny yang terbaring di tanah. Ia berjongkok di depan pohon belimbing berusia sekira 3 tahunan seraya mengeluarkan isi perutnya. "Gesha," gumamnya dengan air mata berderai.
Pikiran Fira yang seolah buntu karena di satu sisi ia memikirkan keadaan Ayahnya, namun di sisi lain rasa takut akan teror yang diterimanya semakin membuat jiwanya terguncang.Dengan pandangan kosong dan menahan sakit yang tak terkira di dalam dada, Fira menengadah ke atas langit seraya tertawa miris. Menertawakan nasibnya yang membuat Benny--orang yang dicintainya--ikut merasakan penderitaan yang seharusnya hanya diterima olehnya. Bukan keluarganya, apalagi Benny. Ia benci dengan kenyataan bahwa lagi-lagi dirinya-lah yang membuat penyakit Benny kambuh. Kemarin dengan aksi melarikan dirinya yang hilang hingga dua minggu, dan sekarang dengan teror yang dikirimkan seseorang untuknya.
Mengapa aku harus hidup seperti ini, Tuhan? Menyeret keluargaku untuk ikut terjun ke dalam jurang kehancuran bersamaku. Aku mohon, selamatkan Ayahku, Tuhan. Batin Fira lirih. Ia menoleh saat suara Gio memekakkan telinganya--membuyarkan lamunannya yang entah sejak kapan hingga melupakan pertolongan yang dibutuhkan Benny.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Happy Family [Completed]
General FictionDi usia yang memasuki masa senjanya, Benny Hariadi Pratama harus mendapati kenyataan bahwa keluarganya perlahan hancur berantakan. Anak-anaknya yang baik mendadak berubah jauh dari harapannya. Gio anak pertama yang seharusnya jadi panutan adik-adik...