Meisye's Life (2)

6.1K 276 38
                                    

"Mas! Jangan seperti itu sama Mbak Mei! Mbak Mei baru sampai lho ini?" Maryam ikut berdiri. Ia meraih lengan suaminya, mencoba menghentikan langkah Agus yang tengah menahan amarahnya. Maryam tahu jika Agus marah pada Meisye karena keinginan Meisye yang dirasa Maryam juga sedikit keterlaluan. Namun ia tetap berpendapat bahwa tidak seharusnya ketiganya berkonflik, sementara mereka baru dipertemukan setelah lima tahun lamanya tidak saling bersua.

Rasa rindunya yang belum terobati, membuat Maryam harus bisa mendinginkan suasana yang terlanjur panas agar Meisye merasa dihargai atau setidaknya agar sang kakak tidak merasa ditolak kehadirannya dan berujung pada Meisye yang merajuk dan kembali ke Jawa tanpa bermalam di rumah mereka.

Agus tak terpengaruh dengan rayuan Maryam. Ia melepaskan lilitan tangan istrinya itu dengan tatapan seolah memberikan kode untuk Maryam melepaskan kaitan tangannya. "Lepaskan, Mar. Aku ingin beristirahat," ucapnya pelan dengan gigi bergemeletuk keras.

"Udah, Mar. Nggak apa-apa. Biarkan saja suamimu pergi. Tokh dia memang nggak mau menerima kritik kok. Harga dirinya terlalu tinggi. Sementara kemampuan buat membahagiakan kamu juga nggak sebesar apa yang dia janjikan sama Bapak dulu. Dan kamu..."

"Mbak! Aku mohon, kita baru saja bertemu loh. Kenapa kita harus membahas masalah ini sih?" tanya Maryam frustasi. Ia menatap Meisye dan Agus secara bergantian. Berada di posisi seperti Maryam memang cukup membingungkan. Di satu sisi ia tahu jika yang dikatakan Agus adalah benar, namun di sisi lain, ia tidak bisa mengatakan bahwa apa yang dikatakan Meisye juga salah.

Dalam hati kecil Maryam, ia memang memiliki niatan untuk meminta pada Agus, mempertimbangkan untuk memiliki sebuah hunian sendiri, mengingat para tetangga yang selalu memandang rendah keluarga mereka karena hanya menumpang tinggal pada Samsul, rekan kerja Agus. Meski hingga saat ini niatan itu belum juga keluar dari bibirnya lantaran keadaan ekonomi mereka yang masih dalam taraf perbaikan, namun Maryam memahami. Ia yakin, suatu saat nanti apa yang diinginkan hati kecilnya itu akan terkabul. Kuncinya hanya satu, ia harus bersabar, begitu pikirnya.

Lalu saat Meisye datang tiba-tiba seolah menyuarakan keinginannya, Maryam tidak bisa menyalahkan kakaknya pula. Ia bingung. Sungguh.

"Mas? Aku mohon, kita bisa membicarakan semuanya dengan baik-baik. Nggak perlu pakai emosi seperti ini, Mas. Malu, kita tuan rumah di sini," ucap Maryam penuh harap.

"Justru karena kita tuan rumah di sini, harusnya yang menjadi tamu memiliki rasa hormat sedikit. Menghargai tuan rumah, bahwa apa yang dia sampaikan tadi sudah bukan menjadi kapasitas dia untuk berbicara," sindir Agus tegas. Ia melepaskan lengannya secara paksa. Lalu melangkah menjauhi Maryam yang hanya menatap canggung pada Meisye yang kini juga berdiri mengikuti Agus dan Maryam.

"Tunggu, Gus!" sahut Meisye cepat. "Kenapa nggak langsung kita dengarkan saja pendapat Maryam sekarang? Bukankah dia belum mengungkapkan pendapatnya? Aku yakin, kamu nggak pernah sekalipun menanyakan padanya, 'apa kamu bahagia hidup denganku?' atau 'apa kamu terganggu dengan hinaan para tetangga yang selalu merendahkan kita?'" tanya Meisye yang langsung menghentikan langkah Agus yang sejengkal lagi dapat memasuki kamar yang hanya berpintu kain jarik. Wanita dengan jaket jeans dan celana jeans berwarna senada itu tersenyum penuh percaya diri. Ia yakin adiknya akan memilihnya. Dan semuanya akan berakhir. Ia akan membawa Maryam ke kotanya dan hidup bersama untuk mencapai kesuksesan dalam hidup mereka. Meisye yakin ia bisa membahagiakan adik satu-satunya itu dengan kerja kerasnya. Semua impian yang tertanam erat di otaknya seolah-olah menjadi kenyataan seandainya ia memiliki pendukung seperti Maryam.

Sejujurnya tujuan Meisye menemui Maryam bukanlah untuk mengkudeta kehidupan rumah tangga adiknya itu. Ia ke Bandung, pure hanya untuk melihat bagaimana kabar Maryam dan keluarganya. Kebetulan uang dari Benny masih cukup untuk saku bepergian seorang diri seperti ini. Sayang, alih-alih memberikan kejutan pada Maryam, ia justru terkejut dengan keadaan adik kandung satu-satunya itu. Ia pikir, saat dulu Maryam bercerita jika ia menumpang di salah satu rumah rekan kerja Agus untuk mengurus rumahnya, tempat yang ditinggali Maryam itu layak untuk ditinggali, seperti pengurus villa di sinetron-sinetron yang ditontonnya. Luas dan sehat. Tapi kenyataannya, Meisye justru mendapati adiknya itu hidup di daerah pelosok, dimana rumahnya juga jauh dari kata layak, bahkan untuk ditempati berempat dengan keponakan-keponakannya saja, ia yakin, sangat sumpek dan pengap.

(Un)Happy Family [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang