Benny berjalan perlahan menuju pintu rumah yang terbuka lebar. Ia yang tidak mengendarai Jago lagi hari ini, membuatnya berjalan kaki dari ujung gang perumahan bersubsidi tempatnya tinggal untuk sampai di rumahnya. Mungkin salah Benny juga yang membuat sang belahan jiwa--Jago--mogok dan terpaksa bermalam di bengkel langganannya. Niatan Gio yang ingin membelikan motor yang layak untuknya di depan Jago-lah yang diyakini Benny menjadi penyebab Jago merajuk.
Katakanlah Jago hanya benda mati usang yang tak berharga. Namun di balik itu semua, bagi Benny, Jago adalah penyelamat keluarganya dari krisis yang sempat melanda mereka. Jagolah yang dengan senang hati menjadi teman perjalanannya, menjadi ujung tombak transportasi untuk mengantar Fira dan Raya pergi dan pulang sekolah dengan membawa kotak-kotak kue dagangan Meisye dan mengantarnya kemana-mana untuk melakukan tugasnya yang full berkeliling ke lembaga-lembaga tempatnya melakukan monitoring. Entah akan jadi apa Benny tanpa ada Jago di sisinya kala masa paceklik di keluarganya dulu.
Sejujurnya Benny juga tidak setuju akan niatan Gio yang ingin membelikannya motor baru. Baginya ia tidak terlalu membutuhkannya. Tokh biarpun si Jago sedikit rewel, motor legendaris itu tetap bisa digunakannya. Lagipula ia tidak ingin meminta pada anak. Baginya sebuah pantangan menerima pemberian anak, apalagi barang itu memiliki nilai materil yang tinggi. Jikapun ia harus mengganti Jago, ia bisa menggunakan uangnya sendiri--meski untuk mewujudkan hal itu Benny harus ektra mengambil lembur kerja di restoran tempatnya bekerja sampingan selama ini.
Dengan menghela napasnya yang ngos-ngosan, ia memandang heran pada pintu rumah yang terbuka lebar namun tak ada satupun anggota keluarganya yang beraktivitas di teras rumah seperti biasanya. Perlahan, dilangkahkannya kedua kaki yang sudah bertelanjang karena sepatu dan kaos kaki yang sudah ia tanggalkan menuju ruang tamu serbaguna rumahnya. Sayup-sayup ia mendengar suara Fira yang entah tengah membicarakan apa--yang tidak bisa ditangkap telinganya. Hingga mendadak manik matanya yang sempat beradu pandang dengan Meisye, sejenak mengembalikan fokus telinganya--mendengar dengan jelas ucapan wanita yang ia cintai itu.
"Omong kosong. Kalian nggak berhak menceramahi Bunda seperti ini. Kalian nggak tahu apapun soal Bunda. Berhenti memfitnah Bunda untuk menutupi kebusukan kamu, Fir!" sentak Meisye yang merasa tidak terima akan masukan yang diberikan Fira padanya. Ia menatap Fira dengan pandangan terluka dan melanjutkan, "jangan kamu pikir Bunda nggak tahu alasan kamu mengarang cerita dan fitnah ini karena apa, Fir. Bunda tahu semuanya. Bunda nggak bisa buat nggak bilang sama Ayah kamu kalo kamu lagi hamil, Fir. Bagaimanapun Ayah kamu harus tahu. Maafin Bunda yang nggak bisa menutupi keburukan kamu, ya Fir. Tapi Bunda nggak nyangka kalo kamu bisa memfitnah Bunda kayak gini hanya karena Bunda menolak buat menutupi semuanya." Meisye menangis tersedu-sedu.
Fitnah? Hamil? Sebenarnya apa yang sedang mereka bahas? Ya Tuhan, mengapa keluargaku mendadak hancur seperti ini? Apa yang sudah aku lakukan hingga aku gagal menjadi suami dan ayah yang baik bagi mereka? Batin Benny sedih. Wajahnya yang memucat, bahkan dadanya yang kembali nyeri tak dihiraukannya. Ia melangkah perlahan mendekati ketiga bidadari cantiknya yang kini saling terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Siapa yang hamil, Bun?" suara Benny yang serak, sarat akan kekecewaan memenuhi ruangan tempat ketiganya berada.
"A..ayah?" Meisye merespon ucapan Benny dengan terbata-bata. Ia refleks berdiri seolah terkejut akan kehadiran Benny yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka. Padahal tadi keduanya sempat bertemu pandang. Namun sayang, fokus Benny yang hanya pada kalimat 'hamil' yang dilontarkan Meisye, menjadikan keganjilan sikap Meisye itu tak terbaca olehnya.
Benny memegang dadanya yang belum sepenuhnya sembuh. Ia meraih kursi pojok di sampingnya dan mendudukkan dirinya sendiri dengan susah payah. "Jawab Mei, siapa yang kamu sebut tadi sedang hamil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Happy Family [Completed]
General FictionDi usia yang memasuki masa senjanya, Benny Hariadi Pratama harus mendapati kenyataan bahwa keluarganya perlahan hancur berantakan. Anak-anaknya yang baik mendadak berubah jauh dari harapannya. Gio anak pertama yang seharusnya jadi panutan adik-adik...