Titik Terendah

2.4K 165 16
                                    

Meisye memasuki halaman rumahnya bersamaan dengan Benny yang sedang memeriksa ban motornya yang terlihat kempes. Tadinya lelaki dengan kaos merah dan celana bahan berwarna hitam itu akan mencari Meisye ke toko kue langganannya kalau saja wanita dengan hijab biru motif bunga-bunga itu belum datang hingga setengah jam ke depan. Namun tampaknya hal itu urung dilakukan Benny. Manik matanya yang menangkap sosok yang dicemaskannya sudah datang, membuat bibirnya tersungging ke atas.

"Baru saja aku akan mencarimu, Bun. Darimana kamu Bun, tidak biasanya kamu tidak mau diantar aku atau anak-anak," sapa Benny sembari menegakkan tubuhnya. Ia menangkap mata sembab Meisye yang mengherankan baginya. "Kamu habis menangis, Bun? Kenapa?" tanya Benny dan menghampiri Meisye yang berdiri di tengah halaman rumah mereka. Wajah ayunya yang tersembunyi karena kepalanya yang menunduk, mau tidak mau membuat Benny meraih dan menangkup wajah sendu itu.

Perlahan air mata Meisye kembali menetes. Ia merasa bersalah pada Benny yang tampak mencemaskannya. "Maafkan aku, Mas. Aku kecopetan, dan uang modal kue ataupun uang kita, semuanya hilang."

Benny meraih pundak wanita yang selama lebih dari dua puluh tahun itu menemani hidupnya. Ia memeluk erat tubuh bergetar karena tangis itu. Dibimbingnya Meisye yang masih dipelukannya untuk duduk di kursi santai yang memang ada di teras rumah. Benny pun berteriak memanggil Raya, "Ray! Ambilkan air minum buat Bunda!" Ia lalu beralih pada Meisye dan berkata, "sudahlah, tidak usah dipikirkan. Kita masih bisa mencari uang itu. Yang terpenting, kamu tidak apa-apa dan bisa pulang ke rumah dengan selamat."

"Tapi, Mas, kita makannya gimana? Kita udah nggak punya uang sepeserpun," bisik Meisye lirih. Ia membenamkan wajahnya pada bahu Benny.

"Besok aku coba pinjam ke koperasi, atau kalau tidak, ke bank lagi. Bulan depan Gio harus membayar kuliah juga kan? Semoga masih diberi kemudahan." Benny mengelus pelan punggung Meisye. Tatapannya kosong dan pikiran yang mulai bercabang kini menghantui Benny.

Maafkan aku yang tidak bisa melindungi kamu, Mei. Maafkan aku yang harus membebanimu dengan masalah keuangan sepelik ini. Tuhan, bantulah hamba-Mu ini. Semoga Engkau memberikan jalan dan hikmah yang baik di balik musibah yang Kau berikan pada kami. Amiin. Harap Benny di dalam hati.

Hingga tiba-tiba Raya yang datang dengan segelas air mineral di tangannya dan terkejut melihat keadaan Meisye yang jauh dari kata baik-baik saja, segera menghampiri kedua orangtuanya. Diletakkannya gelas itu seraya bertanya, "Bunda? Bunda kenapa? Kok nangis?" Alis Raya menukik ke bawah, mencemaskan Meisye.

"Bunda kecopetan, Ray," ucap Benny lirih. Ia memberikan kode pada Raya untuk duduk di sampingnya dan tidak bertanya macam-macam pada Meisye yang terlihat masih syok.

"Kok bisa, Bun? Tapi Bunda nggak apa-apa, kan?" tanya Raya semakin khawatir. Dilihatnya kondisi baju ataupun tubuh Meisye dengan teliti, takut jika si pencopet juga melukai Bundanya.

"Nggak apa-apa kok, Ray. Bunda bersyukur ada orang baik hati yang juga mengantarkan Bunda pulang. Kalau nggak, entahlah. Bunda nggak tahu lagi harus bagaimana." Meisye yang mulai tenang meraih gelas air mineral yang dibawakan Raya tadi. Ia meneguk perlahan air bening itu dan menerima tatapan khawatir dari kedua orang yang ada di sampingnya itu dengan sedikit rasa bersalah.

Maafkan aku, Mas. Aku sudah membohongimu. Bukan orang baik yang mengantarku, akan tetapi dia. Dia yang menempati sudut hatiku yang terdalam yang mungkin saja bisa menggoyahkan perasaanku. Batin Meisye membalas tatapan khawatir Benny yang kentara di wajah keriputnya.

*****

Jam masih menunjukkan pukul enam pagi saat Benny memarkirkan motor berplat merah miliknya di pelataran instansi tempatnya bekerja. Ia berjalan terburu untuk menyongsong ruangan Ida Damayanti, bendahara keuangan yang menjadi harapannya untuk kembali mengajukan kredit di bank atau pinjaman di koperasi kantor.

(Un)Happy Family [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang