Meisye's Life (1)

6K 325 60
                                    

Tak sanggup melihat potret kehidupan keluarga Benny lagi, ia pun berbalik meninggalkan kampung bergang sempit tempat tinggal Benny. Dengan masih menenteng plastik berisi perlengkapan dan kebutuhan bayi, ia pergi. Menyusuri gang dengan bau kotoran ayam yang semakin membuatnya mual. Seolah tengah mengolok dirinya bahwa meski dengan keadaan seburuk itu, tinggal di gang sempit kumuh dengan bau pencampuran kotoran ayam dan sabun cuci murahan seharga lima ribu rupiah yang menguar dari jemuran tetangga Benny di sekitarnya, Benny dan keluarganya nyatanya tetap bahagia. Bahkan meski tanpanya.

Ya, seseorang dengan rambut blonde untuk menutupi ubannya itu tak lain dan tak bukan adalah Meisye, mantan istri Benny. Ia menjauhi rumah Benny dan keluar dari gang sempit yang langsung mengarahkan langkahnya menuju trotoar untuk kemudian mampir di warung sederhana, tempat bapak-bapak biasa menghabiskan waktu untuk sekadar ngopi dan bermain catur.

"Teh manis hangat satu ya bu," pesan Meisye pada wanita bertubuh gendut dengan daster sobek di area lengannya.

"Oh, iya, ditunggu ya, Mbak," balas ibu-ibu itu sembari menilai penampilan Meisye yang berbeda dengan ibu-ibu sepantarannya yang kalau tidak gemuk, pasti keriput dan beruban. Bukan seperti wanita bercelana jeans dan berkaus ketat di depannya itu. Siami--nama pemilik warung--menafsir usia Meisye yang tidak muda lagi. Iya yakin itu. Dalam hati ia sedikit iri dengan body goals Meisye yang meski sudah berusia paruh baya, namun tetap terjaga bentuknya. Tidak seperti dirinya yang kini melirik pada perut buncit miliknya yang seolah hamil tujuh bulan itu. Ah, Mas Joko. Semoga kamu nggak ke sini dulu. Pasti mata kamu ijo lihat body mbak-mbak ini. Batinnya cemas sembari mengaduk teh di dalam mug.

"Mbaknya darimana ya? Saya lihat tadi Mbak dari dalam gang itu," tanya Siami mencoba mencairkan suasana. Kondisi warungnya yang sepi di jam-jam kerja saat ini membuat dirinya tidak enak jika tidak sedikit berbasa-basi dengan pengunjung yang datang. Tokh, siapa tahu dengan mengajak Meisye berbincang, ia bisa menarik perhatian wanita itu untuk menjadi pelanggan tetap di warungnya.

"Tadinya saya mau nyari alamat rumah teman saya, tapi sepertinya saya nyasar ini, Bu," jawab Meisye sembari menyambut gelas berisi teh manis pesanannya dari tangan Siami.

"Lho, memang nama teman Mbak siapa? Mungkin saja saya kenal?"

Meisye berpikir sejenak. Ia tidak ingin keluarga Benny mengetahui jika dirinya sempat mendatangi mereka. Ah, Bu Bella. Kalau saja mantan tetangganya itu tidak membuat status bertemu dengan Benny yang sudah memiliki cucu, ia tidak akan mencari keluarganya lagi. Seharusnya ia memang melupakan mereka, meski hatinya ingin melihat anak Fira barang sebentar--yang sayangnya--ia justru melihat kehidupan mereka yang bahagia dan seolah tidak pernah terjadi apa-apa beberapa bulan ini, membuat hatinya kembali tersayat-sayat.

Meisye iri. Disaat semuanya bahagia akan kehidupan yang mereka pilih, ia justru tenggelam dalam penderitaan. Sebuah hal yang hingga kini ia sesali, bahkan saat matanya terpejam sekalipun.

Flashback On

Meisye berjalan dengan menggenggam amplop cokelat berisi uang hasil 'merampok' Benny. Ia menengadahkan sejenak kepalanya, memandangi bintang-bintang yang saat ini tampak berkilau di atas langit. Lalu saat matanya bersibobrok dengan salah satu bintang yang cahayanya sedikit meredup, ia tertawa hambar.

"Aku benar-benar menyedihkan," gumamnya diantara tetesan air matanya yang kembali turun. Diraihnya pinggiran bangku taman Rumah Sakit di sampingnya dan di dudukinya dengan cepat. Ia membutuhkan waktu untuk menenangkan hati dan pikirannya sejenak.

Sesekali isak tangis memilukan Meisye terdengar cukup keras di bangku taman yang sepi itu. Wajar, mengingat saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sebuah tempat dan waktu yang tepat bagi Meisye untuk menangisi nasibnya yang berputar seratus delapan puluh derajat dalam sekejap.

(Un)Happy Family [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang