"Gimana, Mas? Bisa mengajukan kredit lagi? Atau pinjam koperasinya?" Pertanyaan Meisye serta merta menyambut kedatangan Benny yang memasuki teras rumahnya, memberikan efek miris pada hati lelaki paruh baya yang tengah menjinjing sepasang sepatunya di kedua tangannya itu. Ia melangkahkan kakinya menuju rak sepatu di pojok ruang serbaguna tempat Meisye tengah duduk menunggunya.
"Kita duduk dulu sebentar," jawab Benny seraya berjalan menghampiri Meisye. Ia mengambil duduk di kursi sebelah istrinya yang tadi sempat bermain ponselnya. "Kamu dapat darimana ponsel itu, Mei?" tanya Benny saat dilihatnya Meisye memegang benda yang seingat Benny hanya dimiliki anak-anaknya. Ia dan Meisye memang tidak mengenal ponsel, dimana benda itu merupakan teknologi baru yang sudah menjadi bagian hidup dari manusia-manusia modern di sekitarnya.
Katakanlah Benny gaptek, atau ketinggalan zaman. Namun ia berpendapat jika ia yang sudah tua itu tidak pantas untuk menggunakan teknologi yang akan membuatnya susah, dimana ia sudah banyak melihat orang-orang di sekitarnya yang tanpa ponsel seakan tidak bisa hidup. Apalagi manfaat ponsel kurang dirasakan olehnya. Selain istri dan anak-anaknya masih tinggal serumah dengannya, Benny merasa ia belum memerlukan benda pipih dengan sentuhan sebagai aksesnya itu.
"Ah, oh, ini. Aku dapat pinjaman dari orang yang menolongku kemarin, Mas. Kebetulan aku kan sempat meminjam uang juga buat membayar belanjaanku. Jadi biar gampang menghubunginya, aku dipinjamkan ponsel ini," jawab Meisye gugup. Ia mengalihkan pandangan matanya dari tatapan intimidasi Benny.
Benny mengamati raut wajah istrinya dengan heran. Tidak biasanya Meisye terlihat gugup ketika mereka tengah berdua seperti ini. Namun Benny yang tidak memiliki pikiran buruk, mempercayai ucapan Meisye begitu saja. Dengan menghela napas berat, ia kemudian berkata, "Mbak Ida tidak bisa membantu kita lagi, Mei. Dua tahun lagi aku sudah pensiun. Bank tidak akan meloloskan pengajuan kredit kita karena itu."
Meisye menggelengkan kepalanya. Ia seolah tidak percaya dengan ucapan yang baru saja di dengarnya dari bibir Benny. "Kalau memang seperti itu, lalu bagaimana dengan anak-anak kita, Mas? Kita mau makan darimana?"
Pupus sudah harapan Meisye. Satu-satunya jalan keluar yang ditawarkan oleh Benny justru menemui jalan buntu. Sementara kehidupan mereka yang selama ini ditopang dari keuntungan dari hasil berjualan kuenya, kini mereka juga terpaksa harus berhenti berjualan, mengingat modal awal untuk memproduksi kue raib diambil pencopet.
Entahlah, semua ini terjadi karena Meisye sendiri yang ceroboh hingga bisa kecopetan di jalan. Perasaan bersalah semakin menghinggapi hati Meisye. Namun ada sisi hatinya yang juga marah karena keadaan yang sulit seperti ini. Seolah-olah hidup selama duapuluh tahun lebih bersama Benny tidak pernah sekalipun Meisye merasa lega atau setidaknya tidak perlu memikirkan perekonomian keluarga mereka yang selalu terombang-ambing seperti ini.
Lalu bayangan itu datang. Bayangan akan Robby dengan apa yang dimilikinya dan berbanding terbalik dengan apa yang dimiliki Benny sebagai suaminya. Ada sedikit penyesalan akan pilihan Bapaknya kenapa harus Benny dan bukannya Robby. Robby yang memiliki segalanya, sementara Benny tidak memiliki apapun hingga usia senjanya.
Benny terdiam. Suasana sepi mendadak melingkupi Benny dan Meisye yang meskipun duduk bersama, namun diantara mereka tidak ada yang dapat mengeluarkan sepatah katapun. Keduanya seolah terkungkung dengan pemikirannya sendiri.
"Bagaimana kalau kita jual motor Gio, Mei?" Sebuah pertanyaan yang langsung membuyarkan lamunan Meisye. Ia menatap tajam manik mata Benny. "Apa? Jual motor? Mas, motor itu berarti buat Gio! Nggak! Aku nggak setuju kalo kamu mau menjual motor itu! Mau naik apa Gio ke kampusnya, Mas? Jalan kaki? Naik angkot?" Meisye berkata dengan menggebu-gebu. Ia terpancing emosi saat dengan mudahnya Benny mengusulkan saran untuk menjual motor satu-satunya milik keluarga mereka itu. Meisye tidak habis pikir, bisa-bisanya Benny mengorbankan Gio untuk mencari jalan keluar permasalahan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Happy Family [Completed]
Художественная прозаDi usia yang memasuki masa senjanya, Benny Hariadi Pratama harus mendapati kenyataan bahwa keluarganya perlahan hancur berantakan. Anak-anaknya yang baik mendadak berubah jauh dari harapannya. Gio anak pertama yang seharusnya jadi panutan adik-adik...