Menjadi Orang Baik

309 26 2
                                    

Bandung, dua pekan sebelum kelulusan SMA. Tepat nya, malam minggu terakhir ku dengan Dio. Sudah sekitar lima bulan aku berpacaran dengan Dio, si muda yang sudah memegang perusahaan percetakan keluarga nya. Kaya raya, tampan, pintar di dalam kelas, tapi menyedihkan. Hidup sebatang kara tanpa ada nya orang tua. Aku tidak bisa membayangkan jika ada di posisi nya, karena selama ini hidup ku selalu di kelilingi keluarga. Keluarga besar dengan galeri-galeri besar nya di penjuru Indonesia. Keluarga ku berlatarkan seniman, dan aku pun menuruni bakat tersebut khusus nya melukis.

Hari ini Dio mengajak ku ke salah satu Saung Angklung yang ada di Kota Bandung. Usia nya baru saja legal sebulan yang lalu, ia sudah memiliki surat izin mengemudi yang membuatnya bebas pergi kemana saja. Toh hidup menjadi Dio tidak ada yang melarang, karena tidak ada orang tua. Persis seperti ketika aku membahas tentang agama yang kami anut. Aku seorang hindu, ia terlahir muslim. Dan dia dengan mudah nya berkata "Tenang... aku bisa pindah agama ikut kamu." Sekali lagi aku tekan kan, ia tak punya siapa-siapa. Ia bebas tapi beberapa waktu aku seringkali melihat ia salat, ia benar-benar orang yang taat agama meski katanya ia akan pindah agama mengikuti ku.

"Ini buat kamu..." Ucap nya setelah menonton pertunjukan wayang Rama dan Sinta. Ia memberikan ku sebuah wayang kayu kecil wanita yang baru saja kami tonton. "Sinta. Dan aku Rama nya." Ia menunjukkan wayang kayu kecil berpakaian hijau kepada ku. Aku tersenyum, lalu ia mengaitkan tangan nya di tangan ku. Malam itu kami jalan bersamaan di Jalan Asia-Afrika, di temani badut Doraemon berwarna pink, dua mangkuk bakso, dan keramaian.

"Gimana perasaan kamu? Better than this morning, right?" Kami ke Bandung tidak tanpa tujuan, Dio membawa ku ke Bandung untuk menghibur ku. Semalam rumah ku gaduh karena pertikaian Mama dan Papa. Mama berkencan dengan laki-laki lain yang lebih kaya daripada Papa. Seorang Direktur dari perusahaan ternama di Indonesia, berbanding jauh dengan Papa yang hanya seorang Pemilik Galeri Seni. Aku mengangguk menjawab pertanyaan Dio, lalu ia tersenyum dan menatap keramaian yang mengelilingi kami. "Makan dulu dong bakso nya!" Ia menusuk bakso dari mangkok ku. "Aaaaa!" Lalu menyuapi ku bakso yang ia tusuk tadi.

Kisah cinta kami terlalu sempurna hingga aku tak memiliki celah untuk berpisah. Tiba pada malam dimana aku mengerti alasan Mama memilih selingkuh dengan seorang Direktur dari perusahaan ternama. Ku kira pergaulan hanya akan berjalan penuh arah ketika seseorang duduk di bangku sekolah, ternyata Mama berubah karena pergaulan berkelas nya yang menjadikan ia budak sosialita. Teman-teman arisan nya memiliki segala sesuatu yang bermerek dan berharga tinggi tentu nya. Seorang pemilik Galeri Seni kecil hanya bisa membelikan benda seperti itu sesekali, tapi Selingkuhan Mama bisa memberikan segala nya. Mama dan Papa berpisah tepat di hari pengumuman kelulusan ku keluar, rumah dan galeri yang ada di Jakarta kami di jual untuk di bagi dua antara Mama dan Papa, harta gono-gini. Hak asuh tentu nya turun ke tangan Papa selama aku belum menyelesaikan urusan Sekolah ku. Mama menetap di Jakarta, dan menikah secara Hukum dengan Selingkuhan nya. Tentu keluarga selingkuhan nya hancur juga seperti keluarga ku, aku tidak dapat membayangkan Mama akan mengurus tiga orang anak laki-laki dari suami baru nya tetapi tidak mengurus ku si anak wanita yang lebih membutuhkan pendidikan tentang "Menjadi wanita yang baik." Haha. Bahkan Mama ku bukan wanita yang baik. Aku dan Papa pindah ke Bali, tinggal dengan Nenek dan membangun galeri baru di Kintamani. Aku meninggalkan Dio tanpa pamit, kebetulan kami pindah di hari wisuda Sekolah. Selama perjalanan di pesawat, aku membayangkan betapa sepi nya Wisuda Dio yang hanya di hadiri Opah dan Om tersayang nya. Dan di saat itu pula aku mengingat kalimat yang terlontar dari mulut Dio saat di Bandung.

"Kalau ada Rahwana yang nyulik Sinta, apa Rama akan jemput Sinta?" Tanya ku kepada Dio.

"Jelas dong. Bahkan di cerita nya kaya begitu kan?" Jawab nya di akhiri pertanyaan, tangan kanan nya mengeluarkan dompet dari dalam kantung seragam untuk membayar es krim yang kami beli di jalan Asia-Afrika.

Foolish Love! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang