1.

35.7K 889 18
                                    

Cerita ini fiktif belaka, kesamaan nama, tempat plot cerita dsb kebetulan saja. Selamat membaca dan mudahan suka ceritanya!!!

"Sigh..." Kimberly menghela nafas lesu. Siang bolong panas terik membuatnya menyipitkan matanya lalu membetulkan letak kacamatanya yang berbingkai tipis.

Sebenarnya dia tidak ada masalah dengan matanya maupun jarak pandang nya, namun mengenakan kacamata baca membuatnya merasa aman, seperti memakai pelindung. Well, toh pepatah mengatakan mata dapat berbicara sejuta makna. Dia tidak ingin orang-orang mudah membaca atau menduga-duga perasaannya. Dia bukan orang yang terbuka. Tipikal orang dengan IQ yang tinggi, introvert, tidak bisa bersosialisasi, mengarah autis malah.
Yah, orang-orang mungkin menganggapnya begitu, biarlah.

Dia menarik nafas dalam dan membesarkan hatinya, melangkah mantap sambil memegang erat tas dibahunya. Rok payungnya melambai lambai mengiringi langkahnya. Rambut panjangnya dikepang longgar ditaruh di dada sebelah kirinya.

Pokoknya hari ini dia harus bertemu dengan Vincent, mantan pacar kakaknya, yang selama ini bertindak sebagai walinya setelah kakaknya meninggal 5 tahun yang lalu. Dia harus mengembalikan uang yang telah digunakan untuk membiayainya selama dia kuliah.

Kimberly menjadi yatim piatu sejak usianya 12 tahun. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Saat itu dia dan orangtuanya sedang dalam perjalanan untuk menjemput kakaknya dari sekolah asrama pada liburan semester di tahun akhir SMA-nya. Dia yang saat itu berada di kursi penumpang, satu-satunya yang selamat dari kecelakaan maut itu.

Setelah itu kakaknya tidak melanjutkan sekolah, untuk membiayai hidup kakaknya bekerja di klab malam, karena mudah menghasilkan uang, alasan kakaknya waktu itu. Dan di situlah dia bertemu dengan Vincent Black, bajingan itu bisa jadi germonya, entahlah.

"Adik kecil, aku tidak perlu pendidikan tinggi, tapi beda dengan kamu" kata kakaknya sambil membelai rambut Kimberly kecil. Sementara Kimberly membalas tatapannya dengan matanya yang besar namun sorot matanya dingin, tanpa ekspresi. "Kamu punya otak kecilmu yang jenius itu".

Si kecil Kimberly yang punya IQ 200 itu malah menjawab dengan suara yang dingin, "Jadi, untuk menyambung hidup dan membiayai sekolahku kau menjual tubuhmu yang indah itu? Tsk.. sayang sekali! Kau tahu, jika kau berkubang dalam dunia hitam itu, aku tidak akan kaget kalau suatu hari kamu mati terbunuh menggenaskan!".

"Oh, my..., what a rude little sister..., I pity you. Kau dengan prilaku yang merosot sampai minus itu, haha..." kakaknya, Violet, tertawa mendengar ucapannya.

Kimberly melihat melalui jendela depan tiap sore kakaknya berangkat kerja, dijemput pacarnya.
Violet dan Vincent berusia 18 tahun saat itu. Dikalangan mereka, keduanya terkenal sebagai pasangan serasi, bahkan mereka membuat tato dengan inisial mereka, "VV". Violet membuat inisial mereka di punggungnya, yang menurut Kimberly mirip logo fashion dan begitu sama dengan melabeli diri sendiri seperti merek barang dagangan, sedangkan Vincent mentatonya entah dibagian mana dari tubuhnya yang sudah penuh tato itu. Mungkin setiap tatonya melambangkan pacar-pacarnya.

Jadi begitulah setelah mereka hidup tanpa orang tua. Kakaknya menghabiskan waktunya diluar rumah, kadang dia tidak pulang beberapa hari. Sedangkan Kimberly sibuk dengan sekolahnya, menghabiskan waktu diperpustakaan, belajar atau mengutak-atik komputer.

Dia tidak banyak berinteraksi dengan orang lain baik di sekolah maupun di rumah. Beberapa bilang dia aneh, tidak bisa bilang dia bodoh, karena nilai-nilainya selalu briliant bahkan dalam bidang olahraga, beberapa mengata-ngatainya dengan maksud mem-bullynya, kadang memojokkannya karena ingin membuatnya mengatakan sesuatu seperti memohon dan sebagainya, namun gadis itu biasanya diam saja, bahkan tidak pernah menangis.

Walau hanya setetes saja, dia tidak pernah menangis. Bahkan saat orang tuanya meninggal dan dimakamkan, dia tidak juga menangis. Anehnya, orang-orang tidak merasa kasihan padanya, malahan mengatakan bahwa anak itu punya kelainan mental.

"Lihat..., disaat orang tuanya meninggal, dia bahkan tidak sedih sama sekali, kenapa dengan wajahnya itu? Seperti es batu. Apa dia punya kelainan di otaknya? Apa hatinya juga mengeras seperti batu? Apa hatinya sudah mati? Benar rupanya, anak itu memang tidak beres, mungkin dia yang menyebabkan kematian orangtuanya, mana tahu?".

Dalam diam, Kimberly dapat menutup fungsi indera pendengarannya. Yang tergambar dalam kepalanya adalah saat kecelakaan itu terjadi. Bagaimana saat itu ayahnya di kursi kemudi menjadi panik dan berkata "Ada yang tidak beres dengan mobil ini..., mobil ini telah disabotase..." .

Hal berikutnya yang terdengar adalah dentuman keras mobil mereka dengan kecepatan tinggi menabrak truk pengangkut kayu gelondong.


Play In Fire (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang