35.

8.8K 397 1
                                    

Malam itu, pengunjung sangat ramai di Bar Roxy. Musik berirama cepat menghentak-hentak membuat telinga mati rasa. Cahaya redup dan lampu warna-warni silih berganti. Bar itu dipenuhi orang-orang geng motor. Mereka mabuk-mabukan, berdansa dan bercengkerama sesamanya. Dua wanita dengan pakaian minim menari-nari di panggung. Vincent sedang duduk di sebuah meja bersama beberapa rekannya dan seorang wanita cantik duduk di pangkuannya.

Jeff, salah seorang pegawai barnya menghampiri dan berkata di telinganya "Bos, ada polisi! mereka ke sini mencarimu."

Vincent membeku sesaat lalu berkata tegas, "Suruh mereka naik ke ruanganku!" Ia melepaskan wanitanya lalu meninggalkan meja. Ia melangkah menapaki tangga naik ke lantai dua menuju ruang kerjanya. Ia masuk lalu menuang minuman untuk dirinya sendiri. Ia menyesap minuman itu sambil berdiri bersandar ke nakas.

Dua orang polisi berpakaian bebas masuk ke ruangannya. "Lama tidak bertemu, Vincent!" sapa salah seorang polisi menyamar itu. Vincent mempersilahkan mereka duduk. Mereka bertiga duduk di sofa dengan santai.

"Apa kabar, Detektif?" sapa Vincent. "Silakan!" katanya sambil menyodorkan rokok dan minuman.

Detektif Nate yang mengenakan jaket kulit mengambil sebatang rokok. "Kami tidak minum, kami sedang bertugas," kekehnya lalu menyalakan rokok. Detektif Ryan, rekannya, yang mengenakan jaket jeans, melakukan hal yang sama.

"Oh? Seperti yang Anda lihat, detektif, di sini aman dan terkendali," kata Vincent sambil meletakkan sebuah amplop ke tengah meja. Detektif Nate mengambilnya, mengintip isi amplop itu lalu menyimpan dalam kantongnya.

"Killian mati. Dibunuh, kau tahu itu, Vincent?" tanya Detektif Nate disertai lirikan meremehkan.

Vincent terkejut mendengarnya. Namun ia berusaha bersikap tenang. "Oh, ya? Aku baru dengar dari Anda, detektif," jawab Vincent.

"Kau pasti senang, kau sudah lama mengincarnya, 'kan?"

"Aku tidak mengerti maksud Anda, detektif," ujar Vincent, mulai tak sabaran.

"Temanmu membunuhnya, setelah kau mengunjunginya," tambah Detektif Ryan.

"Rasheed?" Alis Vincent berpaut.

"Yep, dan itu membuat hukuman matinya dipercepat. Kau sedang berusaha membuktikan ia tidak bersalah, tetapi ia malah memperparah keadaan. Well, sepertinya ada gunanya juga menyimpan seseorang untuk jadi senjata ketika diperlukan," sindir Detektif Nate sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Kedua detektif itu kemudian tertawa.

Vincent hanya bisa mengepalkan kedua tangannya menahan marah. Setelah kedua detektif itu keluar dari ruangannya, ia tidak menahan diri lagi dan melempar gelas minumannya ke dinding hingga hancur berkeping-keping. "Shit!!" Ia memaki dirinya sendiri.

Di lantai dansa kelab Roxy, pesta tetap berlanjut.

Seorang wanita berambut hitam bergelombang sepundak duduk di meja bar dengan kaki bersilang. Dia mengenakan mini dress merah marun, stocking jala dan stiletto hitam. Mata hitamnya melirik saat dia menyesap minumannya. Dia memperhatikan dua orang pria yang berjalan menuruni tangga. Mereka berdua dari kepolisian, Rose meyakini. Sepertinya Vincent memang rutin mendapat kunjungan dari mereka.

Tidak lama kemudian, Vincent keluar dari ruang kerja, mengenakan jaketnya, ia melewati Rose dan bicara dengan bartender. "Kau melihat Darryl?"

"Kurasa ia di bawah," jawab si bartender.

"Shit!! Shit!!" maki Vincent sambil berlalu dan menuju rubanah.

Si bartender kemudian menuangkan minuman lagi untuk wanita di depannya.

"Trims..!" kata Rose sambil tersenyum manis. Dia lalu turun dari kursi bar dan berjalan membawa minumannya. Dia meliuk-liukan tubuhnya di lantai dansa. Mata hitamnya yang berkilau terpaku pada seorang pria plontos dengan tato naga melingkar di lehernya. Penampilannya khas anggota geng motor. Baju kaus, celana jeans robek-robek, sepatu bot kulit dan beberapa hiasan metal di leher dan tangan. Pria itu menatapnya balik dan Rose tersenyum. Akhirnya ada seseorang yang tertarik padanya.

Laki-laki itu mendekat dan mulai berdansa dengannya. Rose, tentu saja, mulai merapatkan tubuhnya ke laki-laki itu. "Sepertinya kau butuh seseorang untuk menemanimu," kata pria itu.

"Siapa yang tidak," sahut Rose lalu memutar tubuh. Pria itu menangkap pinggangnya dan Rose tertawa. Tawa yang merayu. Gesturnya, sorot matanya, semuanya mengisyaratkan hasrat yang membara. "Siapa namamu?" tanyanya sambil menelusuri rahang laki-laki plontos itu dengan jarinya.

"Gerald, Nona, Siap melayanimu ...," sahut pria itu sambil tersenyum lebar.

"Gerald, aku Rose ...," katanya. Jari bercat kuku merah tua menelusuri dada pria itu sambil bergoyang pelan, keluar dari irama musik yang berkumandang di pengeras suara. "Temanku bilang, aku bisa menghubungimu jika aku perlu sesuatu."

"Oh, ya? Siapa temanmu itu?"

"Ia bilang rahasia. Jika kuberitahu bukan rahasia lagi, 'kan?"

Pria itu tertawa, "Baiklah, Nona, apa yang kau perlukan dariku?" tanya Gerald.

"Bukan aku ...." Rose berkilah.

"Huh??"

"Aku ingin membantu temanku, well ... dia sedang butuh uang, mendesak!"

"Uang?"

"Ya, banyak dan cepat!"

"Well, ... itu tergantung ...."

"Hmm, tergantung apa?"

"Temanmu laki-laki atau perempuan?"

"Dia seorang perempuan."

"Apa dia mau jadi pelacur? Itu yang paling gampang."

Wajah Rose cemberut mendengarnya. "Dia ... tidak suka laki-laki."

"Huh?? Seorang lesbian?" kening Gerald berkerut. "Wah, agak sulit kalau begitu."

"Apa dia mau menjual barang?" lanjut Gerald.

"Dia ... tidak suka tawar menawar. Kau tahu, dia ... bertemperamen buruk."

"Oh, kalau begitu ... apa dia suka berkelahi?"

"Ya, ya ... itu! Sangat sesuai dengan dia!"

Gerald lalu memberinya sebuah kartu warna hitam bergambar tengkorak dihiasi mawar berduri. "Katakan pada 'temanmu" untuk datang tepat waktu," bisiknya di telinga Rose.

"Tentu, Sayang, akan aku sampaikan!" Rose tersenyum cerita lalu mengecup bibir Gerald. Dia berbalik hendak pergi dari lantai dansa, tetapi pria itu menahan tangannya.

"Hey, kau mau kemana? Kukira kita akan bersama malam ini?"

Wajah Rose merengut sedih. "Ouh, aku benar-benar minta maaf. Suamiku datang menjemput dan aku tidak ingin membuatnya marah ...."

Gerald menggertakkangerahamnya dan melepaskan wanita itu dengan kesal.


(Revisi: 22/07/2020)









Play In Fire (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang