Di area perkebunanan teh tersebut menyediakan vila-vila kecil yang bisa disewa pengunjung untuk beristirahat atau bermalam. Maria menuju vila yang disewa Jay untuk mereka. Wanita itu menyeka air mata di pipi dan menatap dirinya sendiri di cermin. Dia tampak acak-acakan, rendahan dan memalukan.
Maria merasa sedih sekali terhadap dirinya sendiri. Dia memutuskan membasuh dirinya di bawah pancuran air, untuk menyingkirkan keringat bekas berkuda, bekas keringat Jay, bau tubuh Jay di tubuhnya.
Jay sangat jahat, pikirnya, tetapi dia sadar mereka berdua sudah dewasa dan sakit hati akibat hubungan terlarang itu seharusnya tidak mempengaruhinya. Namun, menghadapi sebuah penolakan tetaplah menyakitkan.
Maria keluar dari kamar mandi mengenakan jubah mandi dan mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia terperanjat, tidak menyangka Jay ada di kamar, duduk di tempat tidur dan menatapnya dengan mata abu-abunya yang indah. Maria membuka mulut ingin berucap sesuatu, tetapi kemudian dia memutuskan tidak akan mengatakan apa pun. Mengatakan sesuatu hanya akan memperburuk situasi.
"Kau benar, aku pembohong yang payah," ungkap Jay "dan aku juga laki-laki yang sangat jahat."
Maria duduk di kursi meja rias dan menghempaskan handuknya ke meja. Dia sangat tidak ingin mendengar apa pun dari Jay.
"Tetapi kau berbeda, Maria ...," lanjutnya sambil mendekat di belakang wanita itu. Rambut gelapnya masih basah, tetesan air jatuh di punggung tangan Jay yang menyentuh pundaknya dengan lembut. Jay memuji, "Kau sangat baik dan sangat manis dan aku merasa bersalah jika aku memperlakukanmu dengan buruk." Ia mengambil handuk dan meletakkannya di kepala Maria, mulai menggosok rambut Maria dengan handuk untuk mengeringkannya. Ia menatap Maria melalui cermin.
Apa kau mengharap aku percaya semua kata-kata manismu, Jay? Maria tersenyum getir. Dia membuang muka.
"Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku ingin melakukan sesuatu yang benar," lirih Jay. "Kau wanita pertama dalam hidupku yang membuatku mempertanyakan bagaimana hidupku kelak jika aku tak bertemu denganmu." Jay memejamkan mata dan mengecup puncak kepala Maria. "Denganmu, aku ingin melakukannya dengan benar," desahnya lagi, "dan jika aku mengambilmu di kandang kuda tadi, Maria, bukankah aku hanya akan merendahkan dirimu?"
Tatapan mereka beradu melalui pantulan cermin. Jay memelas padanya. "Tidak, Maria. Aku tidak ingin setelah kita melakukannya, kau akan menyesalinya." Ia memeluk Maria dari belakang dan mengecup belakang leher wanita itu, menghirup aroma segar dari samponya.
Maria memejamkan matanya untuk menahan bulir-bulir kekecewaan dan tubuhnya gemetar oleh sentuhan pria itu, tersedu dalam hati. Oh, Tuhan, kenapa aku begitu lemah di tangan pria ini?
Jay menarik pundak Maria untuk membawa wanita rapuh itu berdiri dan menghadapkan tubuh Maria padanya. Jay menatap lembut ke dalam matanya. Ia berkata perlahan. "Aku ingin setelah kita melakukannya, itu akan jadi hal terindah yang bisa kuberikan padamu dan kau akan mengingatnya seumur hidupmu." Lalu Jay mencium bibir wanita itu dan melumatnya. Maria pasrah menyesapi rasa bibir mereka. Bibir Maria yang mungil gemetar takut, tetapi tidak kuasa menolak. Menggunakan lidahnya, Jay membuka bibir Maria dan tangannya menjelajah tubuh Maria, menelanjangi dengan penuh perhatian. Rasa hangat menjalar dalam tubuh Maria yang dingin sehabis mandi, membuatnya tidak berdaya seperti air yang menguap.
Hal terindah? tanya Maria dalam lubuk hatinya. Seperti apa? Ah, dia tak dapat berpikir lagi. Seperti apa pun bentuknya, dia akan mengambilnya. Dia ingin merasakannya.
Jay merebahkannya di ranjang empuk yang tersedia untuk pasangan di kamar itu. Tubuh Maria yang mungil tanpa sehelai benang pun, bersemu hangat di bawah tatapan Jay. Mata Jay semakin gelap dan tajam menatap. Tanpa melepaskan pandangannya dari Maria, Jay melepas pakaian berkudanya satu persatu, perlahan-lahan, dimulai dengan kaus polo-nya. Ia memberi waktu bagi Maria untuk menenangkan diri.
Berhadapan dengan tubuh indah dan ketampanan bak malaikat itu, Maria merasa seperti perawan di depan Jay. Bahkan saat hendak bercinta dengan suaminya sendiri pun dia tidak pernah segugup itu. Di hadapan Jay, dia sepolos kertas putih.
Dan ketika Maria melihat perkakas lelaki Jay yang ditindik bola perak, dia tak dapat menutupi perasaannya. Gugup, takjub, takut, ragu, sekaligus ingin tahu bercampur jadi satu.
"Jay, a ... aku ...." Maria tergagap dengan muka merah padam. Dia tidak ingin Jay tahu dia tidak berpengalaman dengan penis bertindik dan khawatir menyergapnya. Bagaimana jika benda itu melukainya?
Jay menaiki ranjang dengan mantap dan membuka kaki mulus Maria dengan lututnya. Ia menahan tubuh mungil Maria di bawahnya. Jay berbisik ke telinga wanita itu. "Don't be afraid, Baby, I might be a devil, but i'll show you heaven."
Dan setelah Jay di dalamnya, dia tahu apa fungsi bola perak itu dan kenikmatan tidak terkira mengisi seluruh tubuhnya. Benda itu berputar memijat mulut rahimnya, memberikan rangsangan yang simultan, terus menerus, tanpa putus. Dia sibuk mengerang seperti orang gila yang berontak. "Oooh, Jay, ooohh, unnghh, ooohhh ...," tetapi alih-alih mendorong Jay menjauh, Maria melingkarkan tangannya di leher Jay. Kakinya bertaut di panggul Jay.
Nikmat yang terlalu banyak untuk ditampungnya, begitu Jay bergerak di dalamnya, dia tahu itu tidak layak disesali, itu patut dipuja. Dalam buaian Jay, Maria berserah diri. Dia siap pergi ke mana pun Jay membawanya. Dia siap hancur karena tahu yang akan di dapatkannya adalah surga.
(Revisi: 22/07/2020)

KAMU SEDANG MEMBACA
Play In Fire (END)
AçãoRomance 21+ Aku mencintainya, tetapi harus meninggalkannya *** Kimberly, gadis yatim piatu yang menikah rahasia dengan seorang CEO karena kebutuhan mendapatkan keturunan. Setelah mendapatkan anak, Kimberly didepak dari kastel mewah Keluarga Xin. Kim...