Rania meminta Arga menelfonnya via video call agar Rania juga mengetahui semuanya. Arga pun menelfon Rania setibanya di rumah bersama Mama dan pemuka agama. Begitu telefon tersambung, Rania langsung melihat pemandangan ruang tamu rumah Arga. Ada Mamanya Arga duduk di sofa dengan wajah bingung. Matanya nampak sembap. Tanpa harus Rania tanyakan lagi, ia sudah tau penyebabnya. Sementara itu pemuka agama sedang menelisik isi rumah Arga. Masuk ke dalam rumah Arga lebih jauh.
"Papamu mana?" tanya Rania membuka pembicaraan.
"Pergi. Ngga tau kemana," jawab Arga jutek. Terlihat tidak suka saat membahas Papanya.
"Kamu udah nelfon orang yang di bilang pemuka agama?" tanya Rania mencoba mencairkan suasana, walaupun ia tidak tau siapa orang yang di maksud.
"Belum, Ran. Ini baru mau aku telefon," jawab Arga memandang Rania di layar handphonenya. Pandangannya tiba-tiba melihat ke arah luar rumah melalui jendela di ruang tamu.
"Kenapa, Ar?" tanya Rania bingung melihat wajah Arga yang terkejut.
"Dia datang. Orang yang baru mau aku hubungin.." ucap Arga.
"Tolong, jangan di matiin telfonnya. Aku mau tau," ucap Rania. Arga buru-buru meletakkan handphonenya di meja hias di ruang tamu, yang cukup jauh. Hingga orang-orang tidak akan memperhatikan handphone yang di letakkan Arga disana. Walaupun begitu, Arga tetap menutupi handphonenya dengan beberapa benda, namun tidak menutupi kamera belakang. Rania pun mematikan mikrofonnya agar tidak terdengar disana.
Orang itu masuk. Mama dan Arga langsung berdiri. Wajah mereka yang terlihat dari samping nampak terkejut.
"Aniinn??!!" pekik Rania terkejut. Syukur mikrofonnya mati. Kalau tidak, sudah pasti pekikannya terdengar. Mama juga tidak mungkin mendengar karena sedang di dapur, sementara Rania di kamar. Ia pun teringat dengan perkataan Arga ketika melihat seseorang di luar rumahnya yang datang. Jadi, yang di maksud pemuka agama itu.. Anin.
Anin nampak salim dengan Mamanya Arga, Arga pun juga salim dengan kedua orang tua Anin. Kemudian Anin langsung duduk bersama kedua orang tuanya di sofa yang sama. Sofa yang berhadapan dengan Arga dan Mamanya Arga.
"Om kemana, tante?" basa-basi Anin berusaha tersenyum.
"Pergi. Ngga tau kemana," Arga yang menjawabnya.
"Mama permisi dulu. Mau buatin minum buat Anin dan Papa Mamanya," Mama beranjak pergi.
"Ngga usah, tante. Anin kesini cuma sebentar.. ingin bicara penting," ucap Anin menatap Mama. Tatapan penuh arti. Antara terkejut dan takut. Mama pun duduk lagi sambil tersenyum kecil. Rania pun dapat melihat ekspresi kedua orang tua Anin yang berusaha menyembunyikan terkejutannya dari tadi melihat kondisi Mama.
Memang masih ada bekas lebam dan memar disana, walau sudah mendingan. Arga nampak berusaha biasa saja, walau dari sorot matanya ia sangat tidak suka kehadiran Anin. Kalau bukan karena ada orang tua Anin, sudah pasti Arga mengabaikannya. Dengan memilih tidur di dalam kamar.
"Ada apa?" tanya Arga penasaran karena Anin memilih diam.
Anin memberanikan diri menatap Mama dan Arga.
"Anin datang kesini mau minta maaf.." ucap Anin akhirnya menunduk sambil meremas-remas jari-jari tangannya.
"Untuk?" tanya Arga dengan ekspresi bingung. Anin baru saja datang, belum melakukan kesalahan apapun tapi sudah minta maaf.
Anin terdiam lagi. Ia benar-benar terlihat takut dan bingung bagaimana menyampaikannya. Rania yang melihat dari sambungan video call pun tidak sabaran.
"Ngomong," ucap Papanya Anin tegas menatap putri semata wayangnya.
Anin menghela nafas. Berat.
"Anin mau minta maaf ke Om.. Tante.. Arga.. Mile.."
KAMU SEDANG MEMBACA
YANG TERBUANG [LAST PART]
Romance[BACA PART II DAHULU] Setelah lama menjomblo karena trauma akan laki-laki, Rania justru jatuh cinta kepada Arga. Cowok cuek yang di kenalnya via media sosial karena sebuah game. Sadar akan kesalahan fatalnya di masa lalu, Rania memutuskan untuk menj...