HALUSINASI

2.2K 120 0
                                    

Rania memutuskan untuk tidak masuk kerja selama dua minggu. Ia merasa linglung dan susah fokus. Bukan itu saja, Rania merasa sering mendengar suara dan melihat sesuatu yang begitu menyeramkan dan menakutkan. Hingga ia memutuskan untuk tidur bersama Mama. Mama yang mengetahui itu pun langsung mengobati Rania dengan pengobatan agama beberapa kali. Namun, sepertinya tidak begitu efektif. Karena Rania masih suka mendengar suara dan melihat sesuatu itu.

Pagi hari ini, segelas susu Milo hangat menemani Rania. Kedua tangannya memegang cangkir yang masih mengepulkan asap kecil. Pandangan Rania nampak kosong. Mama yang berada di dapur dan dapat melihat ke arah sofa di ruang tamu pun mendekati Rania.

"Raaann..! Heeyy! Jangan bengong!" tegur Mama kepada putrinya yang beberapa hari ini suka bengong. Membuat Mama khawatir akan itu.

Beberapa menit tak ada respon, tiba-tiba Rania membanting gelas dan berteriak. Menutup telinganya dan menutup matanya. Ia gemeteran dan teriak tanpa henti. Mama pun panik. Rasa khawatir dan takut menyelimutinya sambil memeluk putrinya. Mengelus kepalanya dan menenangkannya. Tidak ada perubahan, teriakan Rania justru semakin kencang dan ia meracau tidak jelas. Membuat tetangga berdatangan.

Tanpa fikir panjang, kali ini Mama membawa Rania ke salah satu rumah sakit kejiwaan di rumah sakit atas saran tetangga. Karena melihat gejala Rania sama persis yang di alami saudara tetangganya. Di temani Bintang yang izin pulang kerja lebih cepat, mereka ke poli kejiwaan yang ada di rumah sakit biasa. Bukan langsung ke rumah sakit jiwa, karena yang di alami Rania belum sampai ke ranah kegilaan. Sementara Siska, menemani Bagaskara dan Banyu di rumah setelah Siska pulang kerja bersamaan dengan si kembar yang baru pulang. Karena ada exkul di sekolah.

Dokter menghembuskan nafas berat. "Anak Ibu terkena skizofrenia," ucapnya.

Mama bingung dengan nama penyakit yang di sebutkan dokter. Begitupun Bintang.

"Skizofrenia? Apa itu, dok?" tanya Mama.

"Penyakit kejiwaan yang berhubungan dengan delusi dan halusinasi. Mendengar suara-suara yang ada di kepalanya. Yang suara itu tidak nyata. Melihat sesuatu yang tidak nyata," jelas dokter.

Mama memandang putrinya yang duduk di sisi kirinya. Bintang yang berdiri di sisi kiri Rania pun ikut menoleh. Mereka mengapit Rania yang kondisinya begitu kacau.

Mama tidak menyangka anaknya terkena penyakit kejiwaan. Entah apa yang difikirkan Rania selama ini hingga memberatkan fikirannya. Membuat Rania tak kuasa menahannya dan pada akhirnya menjadi seperti ini.

"Ini saya berikan obat racikan. Tujuh obat dalam satu kapsul. Cara pemakaian obatnya berapa kali sudah saya tulis. Tolong, obat ini jangan sampai telat di minumnya. Kalau bisa, ketika malam di minum jam delapan. Jangan buat dia stres dan banyak fikiran. Sebisa mungkin di hibur dan sering di ajak ngobrol. Jangan biarkan dia sendirian di dalam ruangan, meskipun ruangannya terang dan banyak suara, seperti menonton televisi. Rania juga harus rutin kontrol sebulan sekali," jelas Dokter memberikan secarik kertas bertuliskan tulisan tangannya yang langsung di terima Mama.

"Baik, dok. Terima kasih," ucap Mama berusaha tersenyum dalam sedihnya. Mereka bertiga pun berpamitan meninggalkan ruangan.

Mama melingkarkan tangannya di lengan atas kiri Rania. Memeluknya erat dan mengelus rambut putrinya.

Ia tidak pernah melihat Rania sekacau ini. Walau dulu dia pun pernah depresi karena perpisahannya dengan Shanum. Atau mungkin, Rania kepikiran dengan Shanum dan masih sangat berat melepas Shanum? Hingga mempengaruhi kejiwaannya.

"Ya Tuhan... Anakku..." lirih Mama ketika ia dan Rania mendapatkan tempat duduk di ruang tunggu. Menunggu Bintang memberikan resep obat dan menunggu panggilan.

YANG TERBUANG [LAST PART]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang