09 : Psychiatrist [Revisi]

1.2K 96 25
                                    

Kata orang, sebuah pertemuan tak akan salah tempat, tak akan pula salah waktu, apalagi salah orang. Bolehkah aku percaya?
Dear, Hujan

##

"Nessa, Papa mau bicara." Harry menunggu Vanessa mengambil tempat di hadapannya terlebih dahulu.

"Ada apa," tanya Harry tanpa basa-basi, sudah cukup lama ia mengawasi Vanessa dan sudah cukup lama istrinya terus merecokinya tentang kondisi kesehatan Vanessa yang ternyata menurun drastis belakangan ini.

"Maksud, Papa?" Gadis dengan pipi pucat dan lengkung hitam di bawah mata itu menunduk gelisah.

"Vanessa, Papa tau kamu ngerti."

Vanessa memilin ujung kaos tuniknya ragu-ragu, "Nessa baik, Pa."

Harry menghela napas. "Kalau memang kamu baik, coba jelasin tentang hasil check up kemarin."

Tentu saja ia tidak bisa, kepalanya sudah kehabisan stok alasan, Maurisa bahkan menanyakannya lebih dari tiga kali dalam sehari. Cukup lama ia bungkam, Harry pun tak angkat suara lagi, pria itu duduk menunggu penjelasan dari Vanessa. Ia tak paham mengapa gadis itu tidak mau berterus terang, padahal Vanessa sudah seperti anaknya sendiri.

Pada akhirnya, suasana menegangkan itu mampu dipecahkan Vanessa, "sebenarnya, ini ... semacam halusinasi ...." Vanessa menceritakan beberapa detail penting saja, dan Vanessa mengemasnya agar tak terdengar semenyeramkan yang ia derita, ia hanya mengutarakan hal-hal ringan yang menurutnya tak terlalu berbahaya untuk kesehatan lainnya.

Harry mendengarkan tanpa menyangga, ia terbiasa mendengarkan seseorang dengan fokus lalu menganalisis sebelum menarik kesimpulan untuk tindakan selanjutnya yang semestinya ia ambil.

"Kamu tahu ini bukan masalah kecil," kata Harry akhirnya, "sekarang kita kehilangan kesempatan untuk mengatasi masalah ini sejak dini."

Harry berbicara panjang lebar setelah itu, Vanessa mendengarkan dalam diam, ia tahu pria itu sedang mengkhawatirkan kesehatannya teramat sangat, tapi Vanessa tentu tak sampai hati untuk mengeluh pada Harry dan Maurisa, mereka sudah cukup sering ia repotkan.

Tak lama setelah itu, Harry mencoba menghubungi dokter spesialis yang menangani dirinya hingga sejauh ini, pria itu menceritakan tentang Vanessa sebagaimana Vanessa menceritakannya, ia segera meminta saran kepada sang dokter, Harry terdiam sesaat sebelum menutup teleponnya kemudian.

"Dokter bilang, jalan satu-satunya adalah konsultasi ke psikiater."

##

Vanessa tidak yakin tentang keputusan Harry, ia merasa dirinya tidak membutuhkan psikiater untuk bebas dari malam-malam mengerikannya. Semalam penuh Vanessa berkelahi dengan pikirannya sendiri, apakah ia memang benar-benar sudah gila sehingga harus berurusan dengan dokter jiwa? Vanessa merasa tersinggung, baik pada dokter pribadinya maupun pada Harry. Tapi ia tak mampu menyuarakan pendapatnya.

Terpaksalah ia mengikuti instruksi sang dokter dan juga Harry, mungkin saja ia memang sudah gila. Vanessa hanya bisa tertawa miris. Menatap cermin yang memantulkan sosoknya yang kehilangan gairah kehidupan, ia hanyalah gadis pucat pesakitan yang perlahan-lahan akan menjadi gila. Vanessa yakin ini adalah hukuman dari Tuhan, tapi ia bahkan tidak tahu apa kesalahannya.

Pukul sepuluh pagi, Vanessa keluar dari kamarnya, sebagaimana titah Harry, mereka akan mengunjungi psikiater secepatnya, dan itu adalah hari ini.

Dear, Hujan [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang